Republika, Rabu, 17 Maret 2010, halaman 4
Jakarta.Seusai Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Januari 2010 di Istana Negara, animo masyarakat untuk menjadi nazhir (penghimpun dan pengelola) wakaf uang semakin meningkat. Banyak sekali yayasan atau lembaga sosial yang mengajukan kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk menjadi nazhir wakaf uang. Sayangnya, sebagian besar lembaga-lembaga tersebut belum memahami wakaf uang secara benar. Karena itu, memahami wakaf uang secara benar menjadi sebuah keharusan bagi lembaga yang ingin menjadi nazhir wakaf uang agar implementasi wakaf uang akan berjalan sesuai peraturan yang berlaku. Sebenarnya, praktik wakaf uang di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 2002, yaitu setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang. Dalam fatwa tersebut, MUI memutuskan bahwa hukum wakaf uang hukum adalah jawaz (boleh). Sejak itulah terdapat beberapa lembaga yang mulai mengimplementasikan fatwa tersebut dengan melakukan penghimpunan wakaf uang, karena secara syariat, lembaga-lembaga tersebut telah mendapatkan legitimasi dari fatwa MUI. Wakaf uang Wakaf uang (cash waqf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang. Dengan kata lain, wakaf uang merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya yang berupa uang untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat. Dalam sejarah, wakaf uang telah dipraktikkan sejak awal abad kedua Hijriah. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pendapat beberapa ulama, di antaranya adalah pendapat Imam al-Zuhri (wafat 124 H) yang telah memfatwakan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud: 1997). Selain al-Zuhri, generasi awal ulama mazhab Hanafi juga telah membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud ra: Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk. Dan, sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga ada yang memfatwakan tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham/uang (al-Mawardi: 1994). Berdasarkan pendapat ulama-ulama di atas pula, MUI pada tahun 2002 mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang yang isinya; 1) Wakaf uang (cash wakaf/wagf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai; 2) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga; 3) Wakaf
uang hukumnya jawaz (boleh); 4) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syariat; 5) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Pada dasarnya, yang dimaksud wakaf uang adalah dalam keadaan apa pun uang wakaf tidak boleh berubah, baik itu berubah menjadi bangunan ataupun tanah. Namun, dana wakaf uang tersebut dapat diinvestasikan dalam bentuk usaha. Artinya, nazhir tidak boleh memanfaatkan uang wakaf tersebut secara langsung, akan tetapi yang dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakaf uang. Adapun praktik wakaf uang yang benar itu dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU). UU No 41/2004 tentang Wakaf Pasal 28 menyebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri (agama). Setelah wakif menyerahkan wakaf uangnya kemudian LKS akan menerbitkan dan menyampaikan sertifikat wakaf uang kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf (Pasal 29 ayat (3)). Mengenai LKS yang ditunjuk oleh Menteri Agama, pada September 2008, menteri agama RI, melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Agama RI No 92-96 Tahun 2008, telah menunjuk 5 (lima) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Kelima LKS tersebut, yaitu BNI Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank DKI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank Mega Syariah. Dengan ditunjuknya lima LKS-PWU itu, masyarakat sudah dapat melaksanakan
praktik wakaf uang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan mengenai pengelolaan wakaf uang, dalam Pasal 48 PP No 42/2006 tentang pelaksanaan UU No 41/2004 tentang Wakaf telah menjelaskan sebagai berikut: 1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan BWI; 2) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan syariah; 3) Dalam hal LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu, nazhir hanya dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang pada LKS-PWU dimaksud; 4) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 5) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh para nazhir dalam menghimpun wakaf uang yang kemudian digunakan untuk mendirikan bangunan atau tanah sebagai wakaf tidak salah, jika mereka tidak menggunakan istilah wakaf uang, akan tetapi yang lebih tepat menggunakan istilah wakaf bangunan atau tanah secara kolektif dengan cara penghimpunan uang. Dengan menggunakan istilah wakaf kolektif tersebut, nazhir tidak dituntut untuk menjaga pokok uang wakaf.
*Sarmidi Husna (Staf Ahli Badan Wakaf Indonesia)