Ciputat, 18 Maret 2011
Pilih Pajak atau Zakat? Penulis bekerja di Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Jakarta SELEPAS Lebaran, agaknya cocok mencermati Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, terutama dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 17/2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Ada dua hal pokok yang dikaitkan oleh keduanya. Pertama, zakat tidak merupakan obyek pajak. Kedua, zakat (atas penghasilan) menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Artinya, pemerintah menyediakan dispensasi pajak bagi yang membelanjakan uangnya untuk tujuan sosial. Ketentuan di atas berlaku baik bagi wajib pajak perorangan maupun badan. Undang-Undang Zakat, yang relatif ringkas itu, pada dasarnya mengatur empat hal: pelembagaan (organisasi pengelola), pengumpulan, pendayagunaan, dan pengawasan zakat. Dalam hal pengumpulan dan pendayagunaan, dengan jelas disebutkan “ditetapkan berdasarkan hukum agama Islam”. Ketentuan tentang harta kena zakat, nisab, kadar dan waktu, serta golongan pemberi ataupun penerima agaknya sudah tuntas diatur syariat, sehingga diadopsi saja oleh undang-undang ini. Pengaitan zakat dengan pajak dalam hukum positif ini merupakan terobosan baru, meski tidak khas Indonesia. Beberapa negara seperti Kuwait, Bangladesh, dan Malaysia telah menerapkannya. Umumnya, negara yang mulai maju juga menggunakan insentif pengurangan atau pembebasan pajak untuk mendorong sumbangan sosial. Hanya, ketentuan itu berlaku umum, tidak membedakan agama. Indonesia bersama Cina dan Vietnam adalah yang paling ketinggalan di Asia dibandingkan dengan Jepang, Korea, Taiwan, Singapura, bahkan Thailand dan Filipina. Ketentuan baru ini tentu membawa implikasi penting bagi pengelolaan dana publik, dan pembagian peran antara negara dan masyarakat di dalamnya. Pertama-tama, dari jumlahnya. Dari berbagai model penghitungan, baik untuk perorangan maupun badan, tampak potensi penggalangan zakat akan jauh lebih besar daripada pajak penghasilan (PPh), meskipun dilihat dari persentase, zakat lebih kecil dari PPh (2,5 persen zakat, dan 5-35 persen PPh pribadi, dan 10-30 persen untuk badan). Penyebabnya karena zakat dihitung dari neraca rugi-laba, dikenakan atas aset lancar, bukan cuma dari keuntungan. Sedangkan pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan neto. Maka, bisa terjadi “persaingan” bagi pendapatan domestik negara. Seseorang kini bisa memilih, sebagian ataupun sepenuhnya, mau membayar kewajiban sosialnya itu kepada negara (pajak) atau agama (zakat). Bila asumsinya masyarakat lebih taat membayar zakat, perolehan APBN dari pajak penghasilan akan kalah dibanding perolehan zakat. Artinya, sumber pendapatan domestik APBN bisa menurun, kecuali pengelolaan zakat masuk dalam APBN. Tapi, mungkinkah memasukkan zakat dalam APBN? Menurut Pasal l6 Ayat 1 Undang-Undang Zakat, pengelolaan zakat dilakukan oleh amil yang dibentuk oleh pemerintah (Bazis), dari tingkat nasional sampai kecamatan. Dalam hal pengawasan, selain organ internal yang ditugasi mengawasi badan amil, Bazis diharuskan menyampaikan laporan kepada DPR atau DPRD setempat. Prinsip pengelolaan zakat diatur mengikuti kaidah lokalitas. Karenanya, pasti di luar kerangka APBN, bahkan APBD. Apalagi pemanfaatannya pun sudah tertentu, yakni untuk delapan golongan menurut syariat Islam. Pengaturan kelembagaan ini memang menarik. Di luar Bazis resmi, masyarakat tetap boleh berperan serta membentuk amil dengan sebutan Lembaga Amil Zakat (Lazis), yang harus dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah serta memenuhi persyaratan Menteri Agama. Soal ini tidak kalah penting dengan masalah substansi setelah zakat dikaitkan dengan pajak. Zakat hanya diterima sebagai pengurang penghasilan kena pajak bila “nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah”. Muncul pertanyaan: Apa kriteria untuk Lazis “resmi” dan tidak resmi? Siapa yang akan menetapkan, dan bagaimana prosedurnya? Sebaliknya, apa jaminan bahwa Bazis, yang otomatis dianggap resmi, dapat dipercaya dan amanah? Bagaimana kalau seseorang memilih membayar zakat ke amil di lingkungannya, tapi ternyata bukan yang “dibentuk atau disahkan” pemerintah? Bagaimana kalau ia malah menyalurkan zakatnya langsung kepada orang yang ditentukannya sendiri? Tidakkah ia berhak memperoleh keringanan pajak? Bila tidak secara tepat dilaksanakan, salah-salah undang-undang ini merupakan birokratisasi dan etatisasi pengelolaan zakat yang membuka pintu intervensi negara. Undang-undang ini bisa disalahgunakan untuk mengambil alih wewenang masyarakat oleh negara, selain menambahi DPR/DPRD dengan pekerjaan yang mungkin tidak perlu. Bukankah keamilan merupakan hak dan wewenang masyarakat sendiri? Memang ada dilema di sini. Membiarkan keamilan sepenuhnya di tangan masyarakat akan menyulitkan pemerintah ataupun pembayar zakat dalam memenuhi syarat administratif dispensasi pajak itu. Sebaliknya, birokratisasi dan etatisasi amil akan melahirkan pasar jual-beli “lisensi keamilan” dan korupsi. Dalam mencapai esensi tujuannya, mendorong berkembangnya kedermawanan dan dana sosial, kebijakan yang agak pilih kasih ini dapat dipersoalkan lebih jauh. Bagaimana dengan infak dan sedekah, sumbangan sukarela, yang bisa jadi jauh lebih besar dari zakat yang wajib, yang hanya 2,5 persen dari kekayaan itu? Boleh jadi seseorang membayar infak dan sedekah berlipat ganda besarnya dibandingkan dengan zakat yang menjadi kewajibannya. Mengapa belanja sosial seperti ini tidak dipakai sebagai dispensasi pajak? Bagaimana dengan umat lain atau perusahaan yang dimiliki oleh nonmuslim tapi ingin membayar “zakat”, berhak atau tidakkah ia mendapatkan keringanan pajak? Lalu, bagaimana pula dengan kaum nonmuslim yang bersedekah untuk umatnya, tidakkah mereka berhak atas perlakuan yang sama? Harap dipahami, kegairahan masyarakat untuk bersedekah sangatlah besar. Cuplikan data PIRAC tentang penggalangan dana di media massa menunjukkan kegairahan tersebut, bahkan saat krisis ekonomi belum pulih. Sampel berasal dari tiga media nasional, Kompas, Republika, dan Suara Pembaruan, diambil sekitar 40 hari sejak ketiganya melansir dompet kemanusiaan pasca-bencana gempa Bengkulu (25 Juli 2000). Dana terkumpul Rp 311 juta-Rp 675 juta, atau rata-rata antara Rp 6,7 juta dan Rp 16,5 juta per hari per media.
Dibagi jumlah penyumbang masing-masing (669-1.140 orang), diperoleh nilai amal rata-rata Rp 465 ribu-Rp 704 ribu per orang per sumbangan. Bukankah ini angka yang tidak kecil? sumber tempo//kba.ajiinews//galang//galaknews//ganas//remaja.com//
Sumber : ajiinews.blogspot.com
]]>