Besarnya jumlah penduduk miskin akan berpotensi menciptakan permasalahan sosial di antaranya penurunan kualitas sumber daya manusia, munculnya ketimpangan, dan kecemburuan sosial, terganggunya stabilitas sosial dan politik dan meningkatnya angka kriminalitas. Pada gilirannya, kondisi tersebut menghambat perkembangan ekonomi nasional dan menyulitkan Indonesia keluar dari ketertinggalan.
Awalnya, pendapat umum ketika orang berbicara tentang kemiskinan sering kali yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk hidup layak atau untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (basic needs). Kemiskinan seperti ini sering pula disebut kemiskinan konsumsi. Tentu saja definisi kemiskinan yang hanya dilihat dari sudut pandang pemenuhan kebutuhan konsumsi semata tidak menjadi memadai walaupun definisi ini berguna dan akan terus dipakai untuk mengukur kemajuan tingkat kesejahteraan. Bersamaan dengan bertambahnya perkembangan pengetahuan mengenai kemiskinan, didukung sejumlah realitas dan faktor-faktor penentunya, sekitar tahun 1990-an pengertian kemiskinan mengalami pergeseran. Definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga terkait dengan ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan.
Dengan demikian dalam pengertian tersebut telah diakui adanya interaksi dan hubungan kausalitas antara berbagai dimensi kemiskinan. Bahkan dipengujung abad 20 muncul pengertian kemiskinan terbaru, yaitu kemiskinan juga melingkupi persoalan kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Dari perluasan pengertian kemiskinan, tampak bahwa kemiskinan berwajah majemuk, berubah dari waktu ke waktu, bahkan dari satu tampat ke tempat yang lain. Seperti yang berkembang pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial misalnya, kemiskinan memiliki wujud majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kekurangan akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus-menerus meningkat; kehidupan bergelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta deskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, sesungguhnya dimensi kemiskinan yang memadai dan sesuai perkembangannya harus mencakup berbagai dimensi tidak hanya berurusan dengan pemenuhan atau kesejahteraan materi (material well- being) tetapi juga berurusan dengan kesejahteraan sosial (sosial well-being) (Sri Harijati Hatmadji, 2004).
Fenomena kemiskinan juga dapat dilihat dari hubungan kausalitas yang menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu kejadian. Bambang Subagio et all (2001), berdasarkan kajian data-data empiris menyebutkan bahwa sebab-sebab kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 golongan. Pertama, kemiskinan yang ditimbulkan oleh faktor alamiah, yaitu kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain-lain. Kedua, kemiskinan yang disebabkan karena faktor non-alamiah, yaitu adanya kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain.
Karakteristik kemiskinan tersebut di atas, diharapkan menyadarkan semua pihak terkait bahwa pendekatan dan strategi upaya penanggulangan kemiskinan dengan cara hit and run selama ini perlu diperbaiki, sehingga upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilaksanakan secara cepat, tepat sasaran, komprehensif, dan dilaksanakan secara terpadu serta lintas sektor.
Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya ”si miskin” tersebut dan apa ciri-ciri yang melekat dalam rumah tangga yang tergolong miskin tersebut? Kedua pertanyaan tersebut setidaknya dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan. Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik-karakteristik ekonominya, seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain-lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya.
Pertanyaan kedua mengenai penyebaran kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya, yaitu dengan menentukan dimana penduduk miskin terkonsentrasi. Aspek geografis ini bisa terbagi dalam penyebaran kota dan desa, pantai dan non pantai atau dari perspektif gender antara laki-laki dan perempuan.
Besarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia di mana sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2010 mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen, adalah tantangan bagi semua pihak untuk memperbaikinya. Pemerintah yang diberikan mandat oleh rakyat untuk membantu mereka yang tidak berdaya terbukti belum berhasil membuat perubahan signifikan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu perlu dibuat terobosan melalui instrumen-instrumen lain. Zakat misalnya, rukun Islam ke-3 yang mengharuskan adanya transfer pendapatan dari si kaya kepada si miskin, dapat dijadikan instrumen dalam mengentaskan kemiskinan.
Dana zakat yang dihimpun dari para muzakki, pemilik harta yang telah mencapai batas terendah (nisab) yang ditentukan dan telah sampai waktunya wajib mengeluarkan zakat (haul) menurut ketentuan ajaran agama Islam, harus digunakan sebaik-baiknya untuk membiayai program-program pengentasan kemiskinan. Program-program tersebut haruslah mampu menjadikan penduduk miskin mandiri dan berdaya guna. Dompet Dhuafa sebagai Lembaga Pengelola (amil) Zakat tingkat nasional dapat mengambil peran aktif dalam proses ini. Lembaga yang bervisi menumbuhkembangkan jiwa dan kemandirian masyarakat yang bertumpu pada sumber daya lokal ini sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin melalui program yang berbasiskan potensi lokal.
Sementara dari sisi penerima zakat (mustahik), komponen utama mustahik yang relevan dalam konteks pengentasan kemiskinan adalah fakir, orang yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap dan keadaan hidupnya di bawah standar hidup minimal, dan miskin, orang yang mempunyai mata pencaharian tetap tetapi penghasilannya belum cukup untuk keperluan minimal bagi diri dan keluarganya. Program pemberadayaan mustahik akan lebih baik jika dipadukan dengan potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan.[M. Sabeth Abilawa, Manager Advokasi Dompet Dhuafa]