The role of the state in managing zakat in Indonesia has always been questioned. Judging from colonial centuries to date, there has been no apparent roles nor provisions evidenced that state entitled to such primary and dominant roles in managing zakat of its own people. The proposed amendment of Law No. 38 year 1999 on Zakat (alms) which clearly surrender zakat management solely to state has raised public criticism largely on which legal, philosophical, and sociological basis underlying such claims. Therefore, this paper intends to scrutinize the role of the state in managing zakat through islamic history and tradition, social welfare and welfare state, and neighboring countries’ practices.
Key Words : peran negara, zakat, kesejahteraan
A. Pendahuluan
Institusionalisasi zakat oleh Negara Republik Indonesia antara lain mengemuka dari pidato Presiden Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26 Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut ia mengemukakan bahwa dirinya sebagai warga negara akan mengambil bagian dalam proses nasional pengumpulan zakat dan menyerahkan laporan tahunan terhadap pengumpul dan pendistribusinya. Pasca pidato, lalu Presiden menginstruksikan kepada tiga pejabat tinggi negara untuk menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pengumpulan zakat secara nasional. Arskal Salim menyebutkan bahwa langkah tersebut sebetulnya aneh karena sejatinya telah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang zakat. Sebelum lahirnya PMA No. 4 tahun 1968 tentang zakat dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada abad ke-19 di Banten zakat fitrah sebagian besar dibayarkan masyarakat kepada guru agama, atau pengajar Al Qur`an di desa. Di Jawa Timur, zakat maal dibayarkan dan dikelola kyai dan ulama lainnya. Sementara itu zakat fitrah dibayarkan kepada pejabat urusan keagamaan di tingkat desa seperti khatib dan petugas masjid lainnya.
Pada tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda (Nederland Indies) mengeluarkan regulasi untuk menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas keagamaan seperti naib dan penghulu sebagai pengelola zakat. Lalu pada tahun 1905 pemerintah tersebut mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara khusus melarang petugas pribumi (priyayi dan setingkatnya) untuk mengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah Belanda itu adalah suatu upaya untuk membuat perbedaan yang nyata antara urusan negara dan urusan masyarakat muslim dalam masalah keagamaan.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II. Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah Kementerian Agama. Pada 8 Desember 1951, kementerian ini mengeluarkan edaran bahwa kementerian ini tidak berkehendak untuk mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian zakat.Misinya hanyalah mendorong orang untuk membayar zakat dan mengawasi supaya distribusi zakat terselenggara sebagaimana mestinya. .
Sementara di Indonesia masalah pengelolaan zakat sampai sekarang belum tuntas. Padahal Indonesia telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat. Sebagian pihak menduga, justru UU inilah yang menghambat perkembangan zakat. Alih-alih terkoordinasi, setiap lembaga baik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Amil Zakat (Baz) provinsi, kabupaten dan kota serta Lembaga Amil Zakat (LAZ), seluruhnya memainkan peran dan fungsi serupa. Usulan bertahun-tahun tentang pembagian peran fungsi dan tugas tak tergubris sama sekali.
Belum tuntas permasalahan yang ditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999, kini telah lahir rancangan amandemen UU No. 38 tahun 1999, di mana dalam draft rancangan pemerintah disebutkan bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah sepenuhnya dikelola oleh negara (sentralisasi) melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi hanya sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Amil Zakat milik pemerintah.
Adanya rencana sentralisasi pengelolaan zakat ini akhirnya memunculkan pertanyaan, sejauh manakah Negara Indonesia berhak melakukan intervensi dalam urusan keagamaan masyarakat seperti zakat ini? Guna menjawab pertanyaan ini akan ditelusuri jati diri Negara Indonesia dalam perspektif negara kesejahteraan dan perbandingan dengan praktek-praktek pengelolaan zakat di negara tetangga.
B. Pengelolaan Zakat Dalam Tradisi Islam
Zakat adalah instrumen ilahiah yang diwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWT berfirman dalam Surat At-taubah ayat 103 ”Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan yang berhak menerima zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang-orang dalam perjalanan, dan para pejuang di jalan Allah (Ibnu Sabil).
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian zakat terhadap delapan golongan tersebut. Imam Al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa jika yang membagikan zakat itu kepala negara atau wakilnya, gugurlah bagian amilin dan bagian itu hendaklah diserahkan kepada tujuh golongan lainnya jika mereka itu ada semua. Jika golongan tersebut tidak lengkap, zakat diberikan kepada golongan-golongan yang ada saja. Tidak boleh meninggalkan salah satu golongan yang ada. Jika ada golongan yang tertinggal, bagiannya wajib diganti.
Memang, apabila kepala pemerintahan menghimpun semua zakat dari penduduk suatu negeri dan golongan yang delapan lengkap ada, setiap golongan berhak menuntut hak masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib bagi kepala negara membagi sama rata di antara mereka, sebagaimana tidak wajib zakat itu sampai kepada mereka semua. Ia bahkan dapat memberikan kepada sebagian golongan lebih banyak dari yang lain. Boleh juga memberi kepada yang satu, tetapi tidak kepada yang lainnya jika menurut pertimbangannya hal itu sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Siapa yang bertugas membagikan zakat? Biasanya Rasulullah SAW mengirimkan petugas-petugasnya untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik. Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi. Tatkala datang masa pemerintahan Utsman ibn Affan, awalnya ia masih menempuh cara tersebut. Akan tetapi, waktu dilihatnya banyak harta yang tersembunyi, sedangkan untuk mengumpulkannya itu sulit dan untuk menyelidikinya, menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkan kepada para pemilik harta itu sendiri.
Para fuqaha telah sepakat bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Seandainya para pemilik sendiri yang membagi-bagikan zakat itu (zakat harta mereka yang tersembunyi) apakah itu lebih utama? Ataukah lebih baik mereka serahkan kepada kepala negara atau imam (petugas) yang akan membagi-bagikannya? Menurut Imam Al-Syafi’i, lebih baik diserahkan kepada imam jika imam itu ternyata adil. Menurut Imam Hanbali, lebih utama jika dibagi-bagikan sendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara, tidak ada halangannya. Adapun mengenai harta yang jelas, menurut Malik dan Imam Hanafi, imam dari kaum muslimin dan para pembesarlah (pemerintah) yang berhak menagih dan memungut zakat. Pendapat golongan Syafi’i serta pengikut-pengikut Hanbali tentang harta-harta yang jelas ini sama dengan pendapat mereka terhadap harta-harta yang tersembunyi.
Maka, jelaslah bahwa zakat merupakan
salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaafkan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tetapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya.
Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan bahwa zakat adalah salah satu landasan utama dalam terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan penyakit. Selanjutnya ia berpendapat bahwa ”..Islam considers the entire community responsible for the food security of all its individuals…one of the categories to whom the revenue of zakah has to be distributed consists of the mu`allafah qulubuhum who include non-Muslims
Pemikiran mutakhir terkait peran zakat dalam negara modern dikemukakan oleh Aidit Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalam negara Islam modern ada empat sumber pendapatan negara antara lain adalah : (1) dana dari baitul maal; (2) pendapatan dari sumber daya alam masyarakat; (3) pajak; dan (4) pinjaman. Dana dari baitul maal berasal dari sumber kekayaan khusus (special wealth) yaitu zakat, dan sumber kekayaan umum yaitu fa’i, ushr, pajak, ghanimah, dan lain-lain sumber yang tidak dimiliki oleh individu dan diserahkan kepada baitul maal.
C. Peran Negara Dalam Perspektif Negara Kesejahteraan
Negara kesejahteraan adalah suatu masyarakat di mana pemerintahnya bertanggungjawab menjamin bahwa setiap warga negaranya menerima pendapatan minimum dan mempunyai akses sebesar mungkin yang ia mampu raih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada bidang perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan dan layanan sosial personal.
Menurut Isbandi Rukminto Adi, ada tiga kunci utama dalam memahami negara kesejahteraan yaitu :
1. Intervensi yang dilakukan oleh negara (dalam hal ini pihak pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan warganya;
2. Kesejahteraan harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat;
3. Kesejahteraan adalah hak dari setiap warga negara.
Ada tiga paradigma kesejahteraan sosial, antara lain : (1) paradigma residual; (2) paradigma institusional; dan (3) paradigma developmental. Paradigma residual adalah pandangan tentang sistem kesejahteraan sosial yang dikembangkan hanyalah sistem terakhir (last resort) untuk membantu anggota masyarakat. Ini adalah sistem kesejahteraan sosial minimalis, di mana sistem ini baru difungsikan ketika sistem pasar (market system) ataupun sistem keluarga (family system) gagal memenuhi kebutuhan individu. Aliran ini sangat menekankan nilai-nilai individualisme dan kemerdekaan individu, sehingga kesenjangan yang terjadi di masyarakat lebih dianggap sebagai konsekuensi logis dari adanya kebebasan individu untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam kehidupannya. Karena bantuan baru diberikan bila sistem pasar dan keluarga tidak bisa membantu anggota masyarakat tersebut, maka dalam sistem kesejahteraan sosial dengan paradigma residual diberlakukan sistem seleksi (means test) untuk menentukan apakah orang tersebut berhak mendapatkan bantuan.
Paradigma institusional atau model kesejahteraan institusional dikembangkan berdasarkan teori tentang masyarakat dan negara yang didasarkan pada nilai-nilai konsensus (consensual value), tetapi konformitas dicapai melalui proses integrasi sosial, bukan sekedar menonjolkan pada aspek pilihan individual saja. Dalam kaitan dengan peran negara dalam penyediaan layanan kesejahteraan pada masyarakatnya, paradigma ini melihat pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dan organisasi nirlaba dalam meningkatkan kualitas layanan.
Paradigma developmental, atau model kesejahteraan developmental merupakan konsepsi tentang sistem kesejahteraan sosial yang mendasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial. Paradigma ini berdasarkan pada perspektif sosial demokrat (democratic socialist perspective). Disini peran pemerintah menjadi lebih proaktif, dan merupakan antitesis dari perspektif residual yang lebih bersifat reaktif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Marsland yang mengusulkan agar membebaskan kesejahteraan masyarakat dari negara dan mempertimbangkan privatisasi di bidang kesejahteraan secara lebih serius, seperti apa yang dilakukan di bidang industri. Marsland juga menentang pandangan bahwa negara harus menyediakan layanan pada warganya sejak mereka lahir hingga mereka meninggal dunia (state provision of cradle to grave).
Holil Sulaiman menyebutkan bahwa di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an sampai sekarang ada dua pandangan kuat yang bertentangan tentang kesejahteraan sosial, yaitu : pertama yang memandang bahwa kegiatan kesejahteraan sosial hanya disediakan bila struktur sosial normal masyarakat tidak berfungsi. Penyedia utama kesejahteraan sosial adalah keluarga dan pasar ekonomi. Bila kedua sumber tersebut tidak berfungsi baru kesejahteraan sosial tampil. Faham ini disebut faham kesejahteraan sosial residual. Kedua, faham kesejahteraan institusional yang melihat kesejahteraan sosial sebagai fungsi legal dan yang diterima serta dibutuhkan oleh masyarakat industri modern untuk melayani individu dan kelompok untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupannya dan taraf kesejahteraannya yang sebaik-baiknya.
Negara kesejahteraan, pada dasarnya, mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utama, yaitu : (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation system; (4) rights to education and the expansion of modern mass education systems.
Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara.
Seperti yang awalnya diamati oleh Titmuss (1958) dan kemudian diperkuat oleh Esping-Andersen (1990), negara tidak selamanya menjadi aktor utama dalam penyediaan kesejahteraan. Esping-Andersen mentipologikan varian-varian rezim kesejahteraan atas rezim kesejahteraan liberal, sosial demokrat, dan konservatif. Terlihat bahwa peran negara dalam negara kesejahteraan paling kuat dijumpai pada rezim kesejahteraan sosial demokrat yang memiliki tingkat demodifikasi tinggi serta ikatan hak sosial yang universal.
Berdasarkan tipologi rezim kesejahteraan tersebut, Esping-Andersen (1999) membagi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk yaitu :
• Residual welfare state; yang meliputi negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas pada kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik.
• Universalist welfare state; yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif.
• Social insurance welfare state, yang meliputi negara seperti Austria, Belgia, Perancis, Je
rman, Italia, dan Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan.
Ajaran-ajaran agama telah memberikan basis etis yang kuat bagi perkembangan konsep negara kesejahteraan. Esping-Andersen menengarai kuatnya pengaruh doktrin sosial Katolik dalam rezim kesejahteraan konservatif. Pengaruh ini bisa dilacak dari teks-teks ajaran sosial gereja yang dikeluarkan sejak abad kesembilan belas. Rerum Novarum (Hal-hal Baru) tentang Keadaan Kaum Buruh, yang merupakan teks ensiklik Paus Leo XII pada tahun 1891, merupakan teks yang dinilai mempunyai pengaruh besar bagi berkembangnya sistem jaminan sosial di Eropa pada abad kedua puluh. Ia merupakan respons gereja terhadap perkembangan sosial terkini yang terjadi setelah revolusi industri di Eropa, khususnya terhadap menguatnya sosialisme dan kecenderungan pertentangan antar kelas sosial. Teks tersebut secara eksplisit juga menunjukkan bagaimana negara harus berperan. Di antara butir-butir kebijakan tersebut adalah :
“…tugas utama para penguasa ialah mengerahkan seluruh sistem perundangan dan lembaga-lembaga untuk memberikan bantuan pada umumnya maupun kepada golongan-golongan khas. Termasuk kepemimpinan negara mengusahakan agar struktur maupun fungsi administratif negara meningkatkan kesejahteraan umum maupun perseorangan…karena itu pemerintah harus bercampur tangan bila kepentingan umum atau kepentingan kelompok khusus dirugikan atau terancam bahaya, asal memang itulah satu-satunya jalan untuk mencegah atau menyingkirkan kejahatan…”.
Dalam hubungannya dengan social security zakat adalah bagian dari instrumen keterjaminan sosial yang berasal dari institusi agama. Keterjaminan sosial (social security) adalah tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima (The World Bank Research Observer, 1991).
Danny Pieters menyebutkan bahwa keterjaminan sosial adalah : the compilation of benefits in cash and in kind, including services, granted to some persons. The arrangement as granting protection against the insecurity resulting from the risks related to the ascent of the industrial society and its development or, in short, against social risk.”
Instrumen yang terkait dengan keterjaminan sosial adalah jaminan pekerjaan dan pendapatan, serta beberapa instrumen kebijakan formal, seperti asistensi, asuransi sosial dan tunjangan keluarga. Keterjaminan sosial bukan untuk melindungi kaum kaya tetapi untuk memberikan efek insentif. Dalam studi ILO (International Labour Organization) 1984, digambarkan ada tiga tahap evolusi keterjaminan sosial, yaitu :
1. Sumbangan / derma dari kaum kaya yang disediakan untuk para fakir miskin, tetapi kondisi dan stigma keras yang ditetapkan sering tidak dapat diterima.
2. Skema asuransi sosial dikembangkan berdasarkan suatu kewajiban premi yang diberikan pada peserta berupa pensiun dan pembayaran masa sakit.
3. Konsep pencegahan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup.
D. Pengelolaan Zakat Di Negara-Negara Tetangga
Pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf di Singapura tak satupun dikelola perorangan. Semua dikelola secara korporat. Jumlah muslim di Singapura sekitar 500 ribu jiwa, alias 15% dari total penduduk. Pembayar zakat rutin berjumlah 170 ribu orang. Di luar zakat, dihimpun juga sedekah untuk pendidikan madrasah dan pembangunan masjid. Di samping melalui rekening bank, pembayaran dapat dilakukan di 28 masjid di seluruh Singapura. Tahun 2003, total penghimpunan zakat, infak dan sedekah (ZIS) berjumlah S$ 13 juta. Dari jumlah tersebut disalurkan untuk semua mustahik sekitar S$ 12.3 juta. Tahun 2004 meningkat jadi S$ 14.5. juta. Dari laporan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), hak amil tahun 2004 tercatat S$ 1.5. juta, alias Rp 8.9 miliar.
Dari awal hingga pengelolaan itu sukses, pemerintah Singapura tak tergoda ikut campur. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan pemerintah daripada ikut-ikutan mengurusi ZIS dan wakaf yang terbukti telah mampu dikelola warganya. Dana ZIS merupakan sumbangan warga muslim yang langsung membantu menangani kemiskinan dan kebodohan. Pemerintah Singapura pun sadar bahwa sesuatu yang telah berjalan baik tak perlu diutak atik. Jika memang manfaatnya besar dan tidak mengganggu stabilitas negara, mengapa harus diatur lagi dengan peraturan dan undang-undang. Cara pandang pemerintah seperti ini memperlihatkan kualitasnya. Bahwa birokrasi di Singapura berjalan profesional dilandasi karakter entrepreneur yang kuat. Birokrasi demikian tak gegabah menghakimi dan menempatkan pihak yang berhasil mengelola ZIS dan wakaf sebagai pesaing.
Selain minimnya campur tangan negara, komunitas muslim di Singapura telah menjelmakan dirinya sebagai civil society yang aktif. Ismail Ibrahim dan Elinah Abdullah mengungkapkan sebagai berikut :
The Malay / muslim community in Singapore has kept faith with the Singapore state, with its promise of good education, equal opportunities based on merit and better living conditions. Although faced with the prospect of economic, political and social difficulties in the early 1960s, Malay/ Muslims who were generally located in the rural areas has demonstrated high level of community activism. This was evidenced by the proliferation of mutual help organization in the area of communal life, education, religious learning, and social and welfare programmes. These traditional organizations such as the khairat or mutual-help organizations, and the madrasah or religious schools were founded on community ties and religious obligations that mobilized especially the better educated and more successful members of the community to improve its general well-being…in the areas of social and welfare programmes, badan khairat were formed to assist the poor, orphans and the disadvantaged.
Sementara itu di Malaysia, dalam hal zakat, pemerintah Malaysia ternyata mendukung penghimpunan zakat yang dilakukan oleh murni swasta. Posisi pemerintah sendiri hanya fasilitator dan penanggung jawab. Menariknya lagi, pemerintah (saat itu di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohammad) tak menempatkan zakat sebagai komponen penting dalam membasmi kemiskinan. Dalam wilayah penyelenggaraan, pengelolaan zakat di Malaysia ditempatkan dalam Majelis Agama Islam (MAI). Koordinasi MAI ada dalam kementerian non departemen. Peran dan fungsi menteri non departemen membuat lembaga strategis yang bertanggung jawab langsung pada Perdana Menteri. Dari kementerian MAI ini, lahir terobosan yang amat inovatif yaitu Pusat Pungutan Zakat (PPZ) dan Tabung Haji (TH). Karena hanya ada di Malaysia, dua lembaga itu kini jadi rujukan beberapa negara di luar Malaysia.
Tabung Haji di Malaysia bahkan telah menjadi bagian dari social security scheme di negara tersebut ”..in addition to the above schemes, there is also a Pilgramage Fund (Tabung Haji) which has been set up to enable accummulation of savings to enable Muslim Malaysians to go on Haj (pilgrimage), and a unit trust (ASD) for the Bumiputera community, which provides social security services for the members.”
Pusat Pungutan Zakat (PPZ) resmi beroperasi pada 1 Januari 1991 di Kuala Lumpur. Namun ide dan gagasan PPZ telah dimulai sejak Mei 1989. Gagasan tersebut lahir dipantik oleh keresahan tak berkembangnya pengelolaan zakat di Malaysia. Penghimpunan zakat dan infak lemah. Sesuatu yang amat lumrah akibat kurangnya pegawai, sistem yang lemah dan kampanye sosialisasi zakat yang tak pernah dilakukan. Dari sejumlah tujuan PPZ, ada dua hal yang menarik. Pertama, model ini menyenangkan pembayaran zakat. Kedua, mengenalkan cara korporat dalam urusan marketing dan teknologi berbasis komputer. Ternyata kiat-kiat marketing dan posisi PPZ yang murni swasta, merangsang negeri-negeri bagian lain di Malaysia mencontohnya. Kini, selain Wilayah Persekutuan di Kuala Lumpur, PPZ yang indep
enden berdiri sendiri juga tumbuh di lima negeri yaitu Melaka, Pahang, Selangor, Pulau Pinang, dan Negeri Sembilan. Selebihnya, yakni delapan negeri yang lain, masih menggabungkan fungsi penghimpunan dalam tubuh Baitul Maal (BM). Di Malaysia zakat tidak dikelola secara nasional (federal). Ke empat belas negara bagian (state) di Malaysia, masing-masing diberi hak mengelola zakatnya.
Dalam hal pengelolaan zakat ini, ada empat kebijakan pemerintah Malaysia yang dapat dicatat. Pertama, pemerintah merestui status hukum dan posisi PPZ sebagai perusahaan murni yang khusus menghimpun dana zakat. Kedua, mengizinkan PPZ mengambil 12.5% dari total kutipan zakat setiap tahun, untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional. Ketiga, pemerintah menetapkan zakat menjadi pengurang pajak. Dan keempat, pemerintahpun menganggarkan dana guna membantu kegiatan BM dalam membasmi kemiskinan.
E. Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Erie Sudewo memandang bahwa masih ada sebagian penduduk Indonesia yang tidak meyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakat harus didasarkan pada keikhlasan. Tidak ikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal di Indonesia. Fakir miskinnya banyak. Sementara sebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu wajib. Padahal zakat bukan hanya wajib, namun telah ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Zakat tak bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Fikih zakat tak boleh dibiarkan mengambang. Tak bisa zakat tergantung pada kebaikan hati dan moral muzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, statusnya dari fikih individu diangkat menjadi fikih kemasyarakatan (ekonomi politik dan sosial). Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akan terhimpun besar. Cara lain agar zakat terhimpun besar adalah dengan menerapkan zakat mengurangi pajak. Ini kebijakan yang hanya negara yang dapat melakukan. Sementara masyarakat melalui berbagai ormas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedar mengadvokasi. Ada manfaat lain dengan kebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni status fikih individu zakat, dengan segera terdongkrak jadi fiqih kemasyarakatan.
Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di negeri-negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah. Tampak sekali pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam tampaknya punya model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama Islam. Sedang Malaysia punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus untuk menghimpun zakat saja dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna menghimpun sekaligus mendayagunakan.
Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan zakat cenderung bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat. Kebijakan kesejahteraan sosial secara umum juga bersifat demikian. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan , menyebutkan bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen yang sejak awal tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi terdapat dalam struktur pemerintahan.
Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen (Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis, seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus diberdayakan agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri, tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus izin undian).
Terkait dengan pembubaran Departemen Sosial (Depsos), Holil Sulaiman berpendapat bahwa masalah sosial tidak bisa diserahkan begitu saja pada masyarakat. Harus ada lembaga negara yang ikut menanganinya, seperti yang diamanatkan pasal 34 UUD 1945. Sementara itu Suminto berpendapat pembubaran Depsos itu sama saja dengan pelecehan profesi pekerja sosial. Sudah selayaknya pemerintah memikirkan suatu lembaga yang bersifat operasional untuk menggantikan Depsos.
Berdasarkan paradigma kesejahteraan sosial, langkah pembubaran Departemen Sosial oleh pemerintahan Gus Dur menyiratkan bahwa ia memilih paradigma kesejahteraan sosial residual. Negara berperan secara minimalis. Negara berperan dalam kesejahteraan sosial masyarakat hanya ketika institusi-institusi lain seperti keluarga dan pasar (market system) mengalami kegagalan. Namun apakah negara Indonesia memang pantas menganut paradigma kesejahteraan sosial residual ?
Sejatinya, sejak awal pendirian Negara RI, tak jelas memilih pendekatan kesejahteraan sosial yang mana. Maka, sulit juga untuk menyebut Negara RI sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Akan halnya pada Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 4 menyebutkan bahwa :
Pasal 23 (A): Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal.34
(1) Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4 UUD 45, zakat dapat diatur dengan Undang-Undang sejauh bersifat memaksa untuk keperluan negara. Masalahnya adalah apakah zakat termasuk kategori ‘pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara?`, hal ini tentu akan menimbulkan debat berkepanjangan. Karena sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60, zakat dibagikan kepada delapan golongan (asnaf). Apakah negara termasuk delapan golongan, atau memiliki peran sebagai amil yang berwenang mengumpulkan dan membagikan zakat kepada delapan golongan?
Kemudian, terkait dengan Pasal 34 amandemen 4 UUD 45 disebutkan pada ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 tak menyebutkan zakat sebagai salah satu komponen jaminan sosial. Undang-Undang ini hanya mengatur seputar jaminan sosial yang terkait dengan asuransi sosial seperti jaminan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan terhadap kematian.
Sebaliknya, apabila zakat dianggap sebagai instrumen agama yang merupakan bagian dari ibadah dari umat Islam, berlaku pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal.29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut, pengumpulan dan penyaluran zakat harus dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar keyakinan ibadahnya.
Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana pemerintah mengelo
la zakat melalui Badan Amil Zakat (Pasal 6), namun juga membuka ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7).
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building : Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa negara harus diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas .
Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan bahwa : Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose.
Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto) dan juga Muhammad Hashim Kamali, menyiratkan bahwa peran negara dalam kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan para khalifah yang memang mengelola langsung zakat dari masyarakat.
Permasalahan kemudian adalah, Indonesia bukanlah negara Islam kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan berjumlah terbesar di dunia. Dasar negara Indonesia juga bukanlah Islam kendati pemerintahannya mayoritas dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah hukumnya wajib menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara? Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka pengelolaan zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika pemerintahannya bukan pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka ketentuan tersebut tidak berlaku secara otomatis.
F. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara adalah satu-satunya penyelenggara zakat.
Secara praktek kesejahteraan sosial yang dilakukan Negara RI selama ini, tidak juga menunjukkan bahwa Negara RI adalah negara kesejahteraan (welfare state) yang telah melaksanakannya kewajibannya secara penuh untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya apakah dengan pendekatan institusional ataupun developmental.
Yang terjadi selama ini adalah ketidakjelasan dan tarik ulur kebijakan dan implementasi kesejahteraan sosial. Maka, ketika ada upaya amandemen UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang meletakkan negara sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mengelola zakat, maka sungguh tidak jelas apa pijakan filosofis, yuridis, maupun sosiologisnya.
Satu-satunya pijakan sentralisasi pengelolaan zakat pada negara adalah praktek yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai penguasa. Namun hal inipun tak dapat dijadikan pijakan utama, karena ada khalifah seperti Utsman bin Affan yang mengelola zakat secara partisipatif. Antara lain dengan memberikan peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahik-nya.
Tambahan lagi, Indonesia bukanlah negara Islam dan tidak berkonstitusi Islam kendati pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi zakat oleh negara tidak otomatis dapat dilakukan.
Jalan tengah yang baik, menurut penulis, adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Edi Suharto, bahwa dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Benar, bahwa peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas dan bahwasanya negara adalah pengemban kewajiban utama dalam pelayanan sosial, namun rakyat juga harus diberi ruang untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan sosial, apalagi ketika terbukti negara tak mampu mengemban peran dan kewajiban tersebut. Terkait dengan pengelolaan zakat, model pelayanan zakat ala Singapura dan Malaysia yang menyuguhkan kolaborasi yang cukup baik antara negara dan masyarakat dapat menjadi salah satu rujukan.
Biodata :
Heru Susetyo ; Staf Pengajar tetap bidang studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Peneliti dan anggota Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam FHUI, Pemimpin Redaksi Jurnal Syariah FHUI. Mendapatkan magister kesejahteraan sosial dari FISIP UI (2003) dan Master of Law dari Northwestern Law School, Chicago (2003). Saat ini tengah menuntaskan studi PhD di Mahidol University Thailand dengan fokus penelitian pada kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand. E-mail : hsusetyo@ui.ac.id
]]>