Setelah satu dekade diundangkan, beberapa kalangan menilai bahwa UU no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sudah saatnya direvisi karena mengandung banyak kekurangan. Sebagai contoh misalnya, secara substansi UU ini mengandung beberapa kontradiksi terkait gagasan wajib tidaknya zakat dalam kerangka hukum positif. Pada pasal 2 disebutkan, setiap warga negara yang beraga Islam serta badan yang dimiliki oleh seorang muslim wajib mengeluarkan zakat setelah memenuhi batas tertentu (nishab). Pasal ini mengesankan adanya pewajiban zakat (obligatory) oleh negara. Bandingkan dengan ketentuan tentang cara pembayaran zakat yang diatur dalam pasal 12. Di situ disebutkan bahwa zakat dibayarkan secara sukarela atas dasar pemberitahuan wajib zakat, yang dengan sendirinya menegaskan bahwa zakat bersifat sukarela (voluntary). Kontradiksi ini merupakan satu contoh kekurangan UU zakat dan perlu segera mendapat perbaikan. Pada dasarnya usulan revisi UU zakat terbagi dalam tiga pokok gagasan utama yakni soal tatakelola dan kelembagaan zakat, keterkaitan zakat dengan pajak, dan yang terakhir mengenai perlu tidaknya pemberian sanksi pada wajib zakat yang tidak membayar zakat. Semangat yang dibawa dalam usulan revisi UU zakat adalah adanya upaya untuk lebih memaksimalkan pengelolaan zakat yang dengan demikian menyangkut dua hal utama yakni peningkatan perolehan dan pemaksimalan pendayagunaan. Selama ini, perolehan zakat dinilai masih jauh dari potensi yang sebenarnya dapat dijangkau. Hingga saat ini pekerjaan rumah yang paling besar bagi pemerintah adalah membuat regulasi soal tatakelola serta kelembagaan zakat. Pasalnya, saat ini kita belum memiliki blue print atau katakanlah semacam arsitektur pengelolaan zakat yang jelas. Ketidakjelasan persoalan regulasi menimbulkan kesan bahwa hingga saat ini para stakeholder zakat belum memiliki visi dan arah yang jelas mau dibawa ke mana pengelolaan zakat kita ke depan. Kenyataan ini menjadi ironi tersendiri mengingat potensi dan kebermanfaatan zakat yang besar masih belum tersentuh secara maksimal. Publik vs Negara Salah satu isu terpenting yang mengemuka dalam usulan revisi UU zakat adalah soal aturan kelembagaan dalam pengelolaan zakat, yakni apakah pengelolaan zakat dilakukan secara sentralistik oleh negara ataukah juga memberi ruang bagi publik untuk turut serta dalam pengelolaan zakat. Perlu disadari bahwa ketika zakat masuk dalam salah satu agenda hukum, kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah adanya persinggungan kepentingan antara publik dan pemerintah. Selama ini peran publik dalam pengelolaan zakat telah mendapat legitimasi masyarakat dengan memperoleh kepercayaan yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan penghimpunan dana ZISWAF (zakat, infak, sedekah, wakaf) oleh organisasi zakat publik dari waktu ke waktu. Peningkatan ini rata-rata mencapai 37% per tahun dalam kurun 2002 – 2007. Pada tahun 2007 sebesar 63% atau sekitar dua per tiga dana ZISWAF masuk melalui lembaga zakat yang dikelola oleh publik (IZDR, 2010). Tingginya kepercayaan publik ini diperkirakan terkait dengan sosialisasi yang baik kepada masyarakat (muzakki) melalu berbagai media, pengelolaan program yang baik, serta akuntabilitas publik yang cukup besar. Kenyataan ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah gagasan mengenai sentralisme pengelolaan zakat oleh negara dipandang sudah tepat. Dari segi kesiapan instrumen hukum mungkin tidak akan menjadi persoalan. Tetapi perlu juga diingat bahwa gagasan sentralisasi pengelolaan zakat sekurang-kurangnya akan menimbulkan dua konsekuensi besar yang perlu mendapat perhatian serius sejak awal. Pertama, secara teknis, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara menuntut kesiapan infrastruktur penunjang baik fisik maupun manajerial. Ketersediaan amil professional, pengelolaan berbasis manajemen modern, dan strategi pendayagunaan yang tertata rapi merupakan elemen kesiapan yang menjadi faktor penting dan tidak boleh diabaikan. Melihat pengelolaan zakat di daerah yang belum maksimal serta masih tingginya disparitas kapasitas para amil, rasanya akan lebih baik fokus dan energi dikerahkan untuk melakukan pembenahan. Kedua, secara filosofis sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan hanya bertentangan dengan semangat keterbukaan dan membatasi peran aktif masyarakat dalam agenda publik, tetapi juga untuk saat ini hanya akan semakin menjauhkan dari inti persoalan sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh dunia zakat kita. Seperti kita ketahui, saat ini yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana memaksimalkan pengumpulan dana zakat yang selama ini belum bisa terlaksana karena berbagai hal. Belum lagi soal edukasi dan penyadaran pada masyarakat untuk membayar zakat. Di sisi lain, peran pengawasan yang sedianya dilakukan oleh pemerintah belum lagi dapat terlaksana secara maksimal. Sekenario lain yang mengemuka yakni pembatasan peran organisasi zakat yang dikelola oleh publik hanya sebagai pengumpul zakat, dan tidak diperbolehkan menyalurkan atau mendayagunakan dana zakat yang telah terkumpul. Gagasan ini sama tidak populernya dengan gagasan tentang sentralisme pengelolaan zakat oleh negara. Betapa tidak, selama ini kepercayaan para pembayar zakat justru terbangun atas kerja nyata pengelola zakat publik dalam pendayagunaan. Pengelola zakat publik dipandang telah berhasil menjadi pelopor pendayagunaan zakat secara inovatif, tepat sasaran, dan akuntabel sehingga para pembayar zakat (muzakki) sebagai klien pengelola zakat menjadi sangat loyal. Ini berarti, mencabut kewenangan pendayagunaan sama saja dengan mengamputasi dayaguna serta dayakerja lembaga-lembaga zakat publik yang telah dibangun selama dua dekade lebih. Alih-alih membatasi ruang gerak publik dalam pengelolaan zakat, pemerintah seharusnya memperkuat sinergi antara pemerintah dan masyarakat demi tercapainya maksimalisasi pengelolaan zakat. Tiga prioritas Proses revisi undang-undang zakat yang sedang bergulir memunculkan harapan atas maksimalisasi pengelolaan zakat di tanah air, sehingga peran zakat sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan dapat lebih dirasakan. Oleh sebab itu, apapun gagasan yang mengemuka hendaknya difokuskan pada usaha ke arah terciptanya perbaikan pengelolaan zakat ke depan. Ada beberapa prioritas utama yang seharusnya menjadi perhatian yang dapat dilakukan oleh semua stakeholder zakat yang terlibat dalam aktifitas zakat di tanah air. Pertama, membangun kerangka good governance dalam aktifitas pengelolaan zakat guna menjamin akuntabilitas, transparansi, serta profesionalisme pengelolaan zakat agar tercipta pengelolaan zakat yang amanah. Untuk itu, aspek yang perlu diperhatikan yakni aspek kelembagaan, aspek sumber daya, dan sistem pengelolaan. Sebagai sebuah aktifitas yang khas dan distingtif, peradaban zakat dibangun oleh adanya kepercayaan (trust) dari seluruh stakeholder yang terlibat. Oleh karenanya menajadi sangat penting bagi sebuah lembaga pengelola zakat untuk menetapkan visi yang jelas, memiliki legalitas, serta mempunyai aliansi strategis untuk memaksimalkan kinerja. Dari aspek sumber daya, pengelolaan zakat menyaratkan adanya kualifikasi profesional sehingga tidak lagi mengesankan bahwa amil zakat hanya merupakan pekerjaan sampingan. Demikian juga dengan sistem pengelolaan. Zakat harus didukung dengan prosedur dan aturan yang jelas, activity plan yang baik, manajemen keuangan profesional. Dalam skala nasional, kerangka good governance dalam pengelolaan zakat membutuhkan kerja keras dan komitmen semua pihak. Ke dua, membuat kerangka regulasi dan pengawasan pengelolaan zakat. Hal ini terkait juga dengan pembagian peran yang adil antar berbagai stakeholder zakat untuk bersinergi guna menghasilkan pengelolaan zakat yang optimal. Dalam hal ini, perlu adanya sebuah badan regulator yang bertugas mengatur lembaga-lembaga pengelola zakat sejak mengeluarkan izin operasi, pengawasan, sampai hak untuk mencabut izin operasi lembaga zakat yang bermasalah. Di sinilah perlu adanya sebuah lembaga yang berwibawa, katakan sebuah Badan Zakat Indonesia yang disuport penuh oleh pemerintah sehingga memiliki wibawa untuk membuat regulasi dan kebijakan tentang zakat dalam skala nasional. Intinya adalah, dalam kerangka regulasi zakat ke depan diperlukan adanya kejelasan fungsi regulator, operator, dan eksekutor sebagai tiga pilar yang saling menunjang. Ke tiga, membangun basis pendidikan yang kuat mengenai zakat pada masyarakat. Peran zakat akan sangat bergantung pada seberapa jauh pemahaman masyarakat terhadap praktik berzakat itu sendiri. Pemahaman ini terkait pada pemahaman bahwa zakat merupakan kewajiban setiap muslim (aspek syari’ah). Pada aspek fiqih, pemahaman yang benar terkait jenis-jenis zakat yang diwajibkan perlu disosialisasikan sehingga terbangun pengertian menyeluruh soal harta-harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Pemahaman lain yang perlu ditekankan adalah pentingnya menyerahkan zakat pada amil profesional, sehingga resiko tragedi zakat tidak perlu terulang lagi. Masyarakat tentu menunggu satu aturan tentang zakat yang dapat membawa perbaikan pengelolaan zakat ke depan. Kita berharap proses revisi UU zakat yang sedang bergulir di DPR dapat berjalan dengan baik sehingga tidak memunculkan prasangka adanya tarik-menarik kepentingan. Pada gilirannya, kita berharap zakat sebagai potensi tidak hanya menjadi sebuah angka yang mati, tetapi dapat berbicara dalam ranah pengentasan kemiskinan yang sesungguhnya.]]>