• Phone: 085215646958
  • training@imz.or.id
Stay Connected:

Tulisan ini merupakan bentuk apresiasi atas menjamurnya institusi zakat di tanah air. Fenomena unik itu kami coba analisa melalui kajian dan analisis yang bersifat argumentatif yang ditunjang dengan studi literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan ini diawali dengan memberikan sedikit kilas balik sejarah amil zakat pada masa Rasulullah SAW serta tradisi pengelolaan zakat yang dilakukan masyarakat Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga Orde Baru. Inti dari tulisan ini adalah kajian mengenai fenomena unik yang mengakibatkan menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Fenomena itu dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor pendorong (push-factor) dan faktor penarik (pull-factor).

1. Pendahuluan

 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (dari kekikiran dan cinta berlebihan kepada harta) dan menyucikan (menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati) mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka  dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103)

Arti ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik).
Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil dan yang menjemput zakat adalah para petugas zakat (amil). Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat atas harta zakat yang diambil dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Amil zakat adalah profesi yang mulia, sebagaimana posisi nabi, ulama atau ulil amri (pemerintah). Karena profesi mulianya itu, Allah SWT mencantumkan namanya di dalam Al Qur’an. Kemuliaan amil bukan sekedar ia menjadi perpanjangan tangan dari Allah SWT untuk mengelola amanah orang beriman, namun amil juga menjadi media tercapainya keharmonisan antara si kaya (muzakki) dengan si miskin (mustahik) dengan menjadi mediator bagi sirkulasi zakat dari muzakki kepada mustahik.
Harta yang dimiliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Di sinilah sikap amanah dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Sikap amanah, tidak hanya tumbuh dalam diri orang yang berzakat, tetapi juga pada para petugas atau amil zakat. Yakni dalam membagi dan menyalurkan seluruh harta zakat kepada yang berhak. Dahulu, dalam hal operasional zakat, Rasulullah SAW dan para sahabatnya menerapkan seleksi ketat dalam memilih para amil zakat. Kriteria sifat standar yang dipegang Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pertama adalah orang yang benar-benar memiliki sifat amanah, mengerti permasalahan dan kehidupannya mencukupi. Rasulullah SAW bahkan memberi motivasi kepada para amil zakat dalam sabdanya, “Amil sedekah (zakat) yang melakukan tugasnya dengan ikhlas dan semata karena Allah, ia laksana orang yang berperang di jalan Allah, sampai ia kembali lagi ke rumahnya.” (HR. Ahmad).
Pada masa Rasulullah SAW yang diangkat menjadi amil zakat adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah SAW juga pernah mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.
Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus Sa’dy Al-Maliki sebagai pengumpul zakat. Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin Sa’ied dari Ibnus Sa’dy Al-Maliki, yang berkata, ”Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan aku laporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka aku katakan, ‘Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.’ Maka Umar berkata, ‘Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah SAW, dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.’” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Sejarah perjalanan profesi amil zakat telah ditorehkan berabad-abad silam. Dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah digagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebagai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat. Keinginan yang kuat ini mengkristal dengan disampaikannya saran oleh sebelas ulama tingkat nasional kepada Presiden Soeharto pada tanggal 24 September 1968.
Pada saat itu, musyawarah sebelas ulama nasional di antaranya Prof. Dr. Hamka dan KH Moh. Syukri Ghazali, mengeluarkan rekomendasi yang isinya antara lain ; perlunya pengelola zakat dengan sistem administrasi dan tata usaha yang baik, sehingga bisa dipertanggungjawabkan pengumpulan dan pendayagunaanya kepada masyarakat.
Awal tahun 1968, pada “Seminar Zakat” yang diselenggarakan lembaga Research dan Work Shop Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah di Jakarta, untuk kali pertama Presiden Soeharto mengimbau masyarakat untuk melaksanakan zakat secara konkret.
Dalam pidatonya Presiden Soeharto berpesan, “Saya ingin memulai lagi bahwa pengumpulan zakat secara besar-besaran yang saya serukan itu, saya maksudkan sebagai ajakan seorang muslim untuk mengamalkan secara konkret ajaran-ajaran Islam bagi kemajuan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya (Pemda DKI, Pedoman 1992 :109).
Pada acara Isra’ Mi’raj di Istana Negara, 26 Oktober 1968, Presiden menegaskan kesediaannya menjadi amil tingkat nasional. Seruan tersebut disusul dengan dikeluarkannya surat perintah Presiden No. 07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968. Isinya, mengamanatkan kepada Mayjen Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf. Drs. Azwar Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara nasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mendirikan Bazis DKI. Juga Bazis-Bazis daerah oleh kepala daerah masing-masing.
Selanjutnya, untuk lebih menguatkan dan mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat dan Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1991. Dan saat ini, payung tertinggi tersebut tercantum dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.

2. Fenomena Menjamurnya LAZ Di Indonesia
Pengelolaan zakat di tanah air akhir-akhir ini sebenarnya menyimpan benih penguatan sistem sosial masyarakat menuju civil society.  Ini diindikasikan dengan lahirnya Lembaga Amil zakat (LAZ) dengan program-program kemanusiaan. Mereka hadir bukan sekedar trend ikut-ikutan atas sebuah euphoria, namun ada cita-cita luhur atas fenomena itu.
Semangat untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat melalui program usaha produktif, yang terbukti mampu melapangkan beban masyarakat akibat himpitan ekonomi. Hal itu takkan mungkin terjadi tanpa adanya kebaikan dan kesada ran hati para muzakki yang ditopang oleh amil yang profesional, amanah, dan akuntabel.  Dalam pengelolaan zakat modern, amil memiliki posisi yang sangat penting dalam mengemas program-program atau produk yang berdayaguna bagi mustahik.

2.1 Faktor Penarik (Pull Factor)
    A. Semangat Menyadarkan Umat (Spirit of Consciousness)
Salah satu keunikan LAZ di Indonesia saat ini adalah para amil mau tidak mau harus menjadi motor dalam penyadaran umat atas penting dan perlunya berzakat. Hal ini tidaklah berlebihan, karena sebenarnya idealnya penyadaran umat ini menjadi tugas negara melalui ketetapan hukum negara (jika sistem pemerintahannya mengadopsi sistem pemerintahan Islam yang mewajibkan bagi masyarakatnya untuk berzakat), namun hal itu tidak dilakukan di Indonesia karena Indonesia bukanlah negara Islam yang bisa memaksa bahkan memerangi bagi mereka yang membangkang karena tidak mau membayar zakat.
Oleh karena itu jika otoritas negara tidak dalam posisi untuk melakukannya, maka para amil dan da’i yang memahami pentingnya berzakat bagi pemberdayaan umat, harus menjadi motor penggerak dalam penyadaran ini. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa LAZ yang ada di Indonesia dalam mempromosikan zakat, infak dan sedekah. Dalam sosialisasinya, para amil bukan sekedar mengingatkan akan kewajiban berzakat sebagai suatu ketetapan syariat yang harus dipatuhi, namun juga banyak kebaikan–kebaikan bagi lain bagi mereka yang mengeluarkan zakat, infak dan sedekah dan orang yang menerimanya.
Berdasarkan survei PIRAC, bahwa tingkat kesadaran muzakki di Indonesia masih tergolong rendah, hanya 55%. Hal ini masih sangat kecil karena kesadaran itu belum termasuk kemauan muzakki untuk membayar zakat. Dari 55% itu, yang mau membayar zakat tidak sampai 100%, tapi hanya 95,5%. 
Fenomena ini memang perlu menjadi catatan bagi para amil dan semua pihak yang peduli akan zakat dalam menyadarkan masyarakat. Umumnya di beberapa LAZ, biaya promosi zakat, infak dan sedekah diambil dari dana infak dan sedekah atau sponsor. Kalaupun terpaksa harus mengambil porsi dana zakat itupun tidak boleh melebihi 12,5% dari total zakat yang diterima (karena biaya promosi zakat dalam konteks ini masuk dalam tanggung jawab amil).
Fenomena ‘unik’ inilah yang terjadi dalam pengembangan zakat di negeri kita. Meskipun pengembangannya terkadang harus bottom-up, namun dengan keikhlasan dan semangat menyadarkan umat, membuat LAZ seakan pantang menyerah demi hadirnya civil society di negeri ini.

B. Semangat Melayani Secara Profesional (Spirit of Professional Services)
Bayangkan bila seorang amil dapat bekerja secara sangat profesional. Yang akan muncul setelah itu adalah timbulnya kepercayaan terhadap LAZ. Kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga yang dikelola secara profesional pada gilirannya akan membuat gairah tersendiri dalam menyalurkan zakat bagi para muzakki. Efek jangka panjangnya adalah kemampuan menghimpun potensi zakat umat Islam yang luar biasa besar itu. Selanjutnya, bila zakat berhasil dikumpulkan dengan baik, dan berhasil dikelola dengan penuh amanah, maka persoalan klasik umat yang selama ini tak kunjung selesai, yakni hubungan harmonis si kaya dan si miskin akan dapat dijawab dengan baik.
Saat ini, bayangan itu semakin mendekati kenyataan. Namun, sekali lagi, harapan luhur itu tak akan terjadi bila amil tidak memiliki profesionalisme. Ada beberapa persyaratan LAZ dapat dikatakan profesional, yaitu : 

1.    Memiliki kompetensi formal
2.    Komitmen tinggi menekuni pekerjaan
3.    Meningkatkan diri melalui asosiasi
4.    Bersedia meningkatkan kompetensi
5.    Patuh pada etika profesi
6.    Memperoleh imbalan yang layak

Syarat profesionalisme di atas bukanlah satu hal yang mutlak, namun itu bisa menjadi parameter akan profesionalisme LAZ itu sendiri. Forum Zakat (FOZ) sendiri dalam keputusan Munas-nya telah membuat kode etik profesi amil zakat. Hal ini tentunya memperketat penyaringan bagi pelaku pengelola zakat. Belum lagi sarana pelatihan formal maupun non-formal yang menjamur di beberapa daerah. Membuktikan bahwa zakat merupakan potensi umat yang harus digarap secara profesional.
Semangat melayani secara profesional ini tergambar dari kepuasan muzakki atas pelayanan yang diberikan beberapa amil zakat. Dengan transparansi pelaporan dan penyaluran yang tepat sasaran, serta program-program unik dalam pemberdayaan masyarakat membuat muzakki merasa puas dan semakin gemar untuk berzakat. Meskipun semangat profesionalisme crew zakat itu masih didominasi oleh LAZ – LAZ besar, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, DPU-DT, YDSF, Al Azhar, dan LAZ besar lainnya.
Menjamurnya LAZ pada beberapa kurun waktu terakhir ini, menunjukkan setiap pihak ingin memberikan yang terbaik bagi pengembangan masyarakat dengan cara meningkatkan profesionalismenya dengan berkaca pada LAZ – LAZ yang telah lebih dulu sukses mengelola dana umat. Jika kinerja LAZ – LAZ besar itu bisa dipertahankan dan dikembangkan, serta LAZ – LAZ yang lain bisa mengikuti tingkat profesionalisme mereka, bukan tidak mungkin potensi zakat sebesar Rp 20 triliun bisa tergarap secara maksimal.
 
C. Semangat Berinovasi Membantu Mustahik (Spirit of Inovation)
Kemajuan sebuah lembaga akan bergantung pada inovasi. Ini juga berlaku pada LAZ. Tanpa inovasi, lembaga ini hanya akan berkutat pada pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, idealnya LAZ memiliki orang-orang yang inovatif dalam menemukan peluang sekecil apapun dalam memberdayakan masyarakat yang membutuhkan.
Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyak memiliki program-program unik dalam memikat hati muzakki. Program unik inilah yang membuat muzakki luluh hatinya menyerahkan dananya kepada LAZ itu. Ambillah contoh Dompet Dhuafa dengan Warung Ukhuwah-nya, DPU-DT dengan Misykat-nya, Rumah Zakat Indonesia dengan SuperQurban-nya, dan program unik lain dari LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya. Hal itu semuanya berujung pada semangat LAZ dalam memberdayakan umat.
Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagai keunikan tersendiri, karena tidak semua LAZ di negara-negara lain bisa berkreasi sedemikian rupa seperti halnya terjadi di Indonesia. Mungkin seandainya pemerintah turut campur tangan terhadap seluruh pengelolaan zakat, infak dan sedekah (ZIS), mungkin inovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kita tidak seinovatif dan sekreatif saat ini.
 
D. Semangat Memberdayakan Masyarakat (Spirit of Empowering)
Yang patut disyukuri oleh kita saat ini adalah masih banyaknya orang-orang yang peduli terhadap derita yang dialami oleh lingkungan sekitar kita. Saking besarnya kepedulian itu, maka munculnya LAZ di beberapa daerah, di masjid-masjid, bahkan di lembaga pemerintah / swasta bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan.
Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi. Berarti negeri ini telah membantah kalau nilai sosial masyarakatnya telah luntur dan hilang kepedulian. Namun di sisi lain, menjamurnya LAZ bisa menimbulkan inefisiensi pengelolaan dan penyaluran dana zakat, infak dan sedekah. Oleh karena itu, pentingnya fungsi koordinatif, konsultatif, dan informatif dalam penghimpunan dan penyaluran dana harus dilakukan oleh badan yang diakui oleh seluruh LAZ dan otoritas negara. Alhamdulillah UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat mengatur fungsi ini melalui BAZ (Badan Amil zakat) yang ada di tiap-tiap tingkatan wilayah.
 
2.2. Faktor Pendorong (Push Factor)
A. Potensi Penghimpunan Dana Zakat Yang Besar (Huge Market Potential)
PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dalam rilis hasil surveinya mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (be rdasarkan asumsi tahun 2006).
Berapapun nilainya, yang pasti itu bukanlah angka yang kecil. Jika semua dana itu bisa terkumpul dan dikelola oleh lembaga yang profesional dalam skim penyaluran yang produktif, maka bisa dibayangkan besarnya manfaat yang diperoleh masyarakat kurang mampu agar bisa bangkit dari keterpurukannya. Yang mulanya sebagai mustahik dalam beberapa tahun mungkin sudah bisa menjadi muzakki.
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki keunikan sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Keunikan lainnya, budaya Indonesia dikenal sebagai budaya yang memiliki tenggang rasa, berjiwa sosial tinggi, dan peduli terhadap sesama.

B. Regulasi Yang Mulai Mendukung (Friendly Regulation)
Ketika kran reformasi bergulir, regulasi mengenai pengelolaan zakat menemukan momentumnya. Jika sebelumnya ketentuan tentang pengelolaan zakat hanya diatur dengan keputusan dan instruksi menteri, akhirnya berkat perjuangan para ulama dan praktisi zakat, Indonesia memiliki payung hukum lebih tinggi dalam pengelolaan zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tepat pada tanggal 23 September 1999 di era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Beberapa poin penting UU ini di antaranya adalah terimplementasinya regulasi zakat sebagai pengurang pajak, adanya standarisasi profesi amil, serta kejelasan fungsi koordinasi antar pengelola zakat. Dengan adanya payung hukum ini, niscaya akan menjadi angin segar dalam pengembangan pengelolaan zakat ke depan.

C. Infrastruktur IT Yang Menunjang (IT Infrastructure)
Dalam penjabaran Rencana Strategis 2005–2009, Direktorat Pemberdayaan Zakat Departemen Agama telah berupaya melakukan program-program yang bersifat mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan zakat. Salah satunya adalah dengan membangun sistem informasi zakat nasional yang berbasis teknologi informasi sehingga dapat diketahui data base mustahik dan muzakki secara menyeluruh serta hasil penghimpunan dan penyaluran zakat, infak dan sedekah dapat dimonitor setiap saat.
LAZ – LAZ besar di Indonesia saat ini menjadi besar karena menggunakan infrastruktur IT yang memadai. Semakin canggih mereka menggunakan infrastruktur teknologi informasi (IT), maka semakin efisien LAZ mengumpulkan dana dari para muzakki dan semakin mudah menyimpan data penerima zakat, data wilayah penerima zakat, data wilayah binaan lembaga zakat (kalau ada), data lembaga yang mendapat dukungan dari dana zakat, data wajib zakat, dan lain-lain.
Untuk funding zakat, saat ini beberapa LAZ menerapkan IT dalam operasionalnya antara lain muzakki dapat membayar zakat via SMS (short message service) melalui registrasi, muzakki bisa menghitung zakatnya via internet, muzakki dapat memperoleh informasi mengenai laporan penggunaan dana zakatnya via internet, dan lain-lain. Semua mudah dan dapat diakses dalam genggaman tangan dan realtime-online.
Namun penerapan teknologi informasi untuk zakat ini juga bukan tanpa kendala. Kendala yang biasa dihadapi dalam penerapan IT adalah pemborosan biaya dalam membangunnya, sulitnya edukasi sumber daya manusianya, dan pada saat implementasinya. Ditambah lagi, belum semua instansi paham akan IT apalagi sampai menerapkannya. Untuk menghindari itu semua, maka perlu disusun Rencana Strategis IT atau Sistem Informasi untuk keseluruhan lembaga zakat.
Yang terpenting adalah LAZ bisa bekerjasama dalam hal berbagi data (dalam konteks penyaluran) dengan yang dimiliki oleh LAZ–LAZ lain. Share data ini tujuannya adalah agar “kerjasama zakat” dapat lebih mudah memetakan bagaimana pola penyebaran zakat yang adil untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan “kerjasama” ini, maka sudah saatnya LAZ bisa saling “virtually integrated” dalam pemberdayaan zakat di era teknologi informasi .
 
D. Tingkat Kesadaran Masyarakat Yang Makin Meningkat (Awareness Increasing)
Menarik jika kita melihat kesadaran masyarakat yang semakin meningkat terhadap pentingnya berzakat. Survei PIRAC melaporkan tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi 55% di tahun 2007. Hal ini berarti dalam kurun waktu 3 tahun terjadi peningkatan sebesar 5,2% kesadaran berzakat dalam masyarakat, jika 5,2% itu dikalikan dengan populasi muzakki di Indonesia, maka terdapat lebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akan menjadi warga sadar zakat. Sedangkan saat ini, diperkirakan hanya ada sekitar 12 – 13 juta muzakki yang membayar zakat via LAZ, berarti masih ada lebih dari separuh potensi zakat yang belum tergarap oleh LAZ.
Fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat ini idealnya bisa memacu semangat para amil zakat untuk bisa melakukan tindakan konkret yang bisa memaksimalkan penerimaan dan pengelolaan zakat, tentunya dengan melalui koordinasi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) & Direktorat Pemberdayaan Zakat DEPAG.
Baznas sendiri idealnya bisa merespon langsung potensi ini dengan mengkoordinasikan dan memetakan potensi muzakki yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang memiliki data base yang lebih valid tentang keluarga-keluarga muslim yang layak dalam kategori muzakki. Tentunya pendekatan dakwah fardhiyah (personal) antara petugas amil dengan muzakki harus lebih digalakkan dalam mengajak calon muzakki untuk sadar berzakat.

4. Kesimpulan
Indonesia adalah negeri yang unik. Keunikan inilah yang harus disadari oleh bangsa ini. Salah satu ‘keunikan’ itu adalah populasi muslimnya terbesar di dunia, namun sayangnya potensi zakat sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan rakyat belum terberdayakan. Keunikan itu bukan sekedar keunikan yang bernada satire, tapi ini adalah peluang besar yang harus dimanfaatkan komponen bangsa ini terhadap sebuah sistem yang digdaya secara konseptual.
Keberadaan LAZ yang pondasinya telah dipikirkan oleh para ulama negarawan terdahulu, merupakan mutiara yang perlu diasah agar kembali menjadi cemerlang. Kecemerlangan itu takkan pernah hadir jika semua komponen bekerja setengah hati untuk menjadikan LAZ sebagai motor penggerak pengentasan kemiskinan yang saat ini menjangkiti masyarakat kita.
Alhamdulillah, rasa syukur ini pantas terucap bukan berarti kita sudah berada pada puncak pengembangan zakat, namun patutlah kita bersyukur karena dalam kurun waktu beberapa terakhir ini LAZ telah menjadi fenomena tersendiri terhadap kehidupan masyarakat kita. Euphoria reformasi, fenomena booming-nya industri keuangan syariah, hingga terbitnya UU Pengelolaan Zakat telah berhasil mendorong pengembangan LAZ ke arah lebih profesional, transparan, akuntabel, dan terkoordinasi. Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini yang perlu dievaluasi lagi, tapi sejauh ini sudah berjalan dengan lebih baik bila dibandingkan di era sebelum reformasi.
Tinggal bagaimana Baznas sebagai badan tertinggi pengelolaan zakat tingkat nasional mampu memaksimalkan perannya sebagai bagian dari amanat UU untuk menjalankan fungsi koordinatif, konsultatif, dan informatif bagi stakeholders zakat tanah air.

Oleh:                                                                           Ir. H. Adiwarman A. Karim, SE, MbA, MAEP;
A. Azhar Syarief

DAFTAR PUSTAKA

Aya Hasna, Tabloid Suara Islam, Edisi 08.
Hendratno, Urgensi Renstra TI/SI untuk Jaringan Lembaga Zakat
M. Akhyar Adnan, Menuju Amil Zakat Profesional.
Muchtar Sadili, Relevansi Zakat Terhadap Civil Society.
www.bimasislam.depag.go.id
www.dsniamanah.or.id
www.hudzaifah.or.id
www.suara-islam.com  
www.republika.co.id 

]]>

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

First Name*
Subject*
Email*
Your Comments
Kirim Pesan
Join Chat
Assalaamualaikum Wr.Wb

Terima kasih telah mengunjungi IMZ – Your Strategic Partner for Training, Research, & Development.

Ada yang bisa kami bantu ?
Klik tombol kirim pesan dibawah ini.