• Phone: 085215646958
  • training@imz.or.id
Stay Connected:

Pagi itu, matahari enggan berbagi sinarnya. Hanya keperkasaan awan mendung yang tampak. Sudah beberapa hari ini kota asal talas, Bogor, diguyur hujan. Seolah terpola begitu saja, tumpahan air dari langit hanya terjadi setiap jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Namun, untuk pagi itu tidak demikian karena air hujan jatuh lebih awal. Kesibukkan tampak terlihat di berbagai tempat, termasuk Stasiun Bogor. Hujan seakan tak menyurutkan semangat para pencari rizki di kala itu. Mulai dari pengemis, penjaja makanan, sampai pekerja kantoran, lalu lalang dan sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Terdengar dari kejahuan, suara tanda KRL ekonomi Bogor-Jakarta akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang sudah memegang tiket KRL ekonomi segera mempercepat langkahnya, bergegas masuk ke dalam kereta. Tapi, ternyata kereta masih belum dapat diberangkatkan alias terlambat dari jadwal semula. Terpaksa, para calon penumpang harus menunggu. Bagi yang sering menggunakan jasa KRL ekonomi, sudah tidak asing lagi melihat pemandangan di atas kereta. Berbagai aktifitas untuk mengumpulkan lembaran uang dan kepingan receh terjadi di sana. Ada yang menjajakan buah dengan kereta dorong buatan sendiri, yang jika dipikir cukup kreatif juga si pembuatnya. Ada juga yang menyapu lantai kereta dengan potongan bekas pembersih air. Ada yang menjual suaranya atau kemampuan mengiba ke orang lain, dan masih banyak lagi. Tiba-tiba fenomena miris muncul. Suara melengking namun tepat dengan nada lagu yang keluar dari tape ber-speaker sedang, mengalun indah. Seorang anak perempuan berumur kisaran 4 tahun, melantunkan tembang yang menjadi salah satu hits saat itu. Sambil memegang kantong bekas bungkus permen, anak itu berdiri di antara sambungan gerbong kereta. Bernyanyi dan terus bernyanyi, anak perempuan itu ditemani oleh seorang remaja putri yang terlihat menggendong speaker ukuran sedang serta memegang erat pengeras suara. Mungkin remaja putri itu kakak dari anak perempuan 4 tahun. Duet maut tak terelakan, terjadi antara mereka berdua di atas gerbong yang mulai dipadati para penumpang. Perlahan kedua penyanyi jalanan itu berjalan sambil menengadahkan kantong permen yang sudah lusuh ke para penumpang di kanan kiri gerbong. Reaksi berbeda yang muncul dari para penumpang seolah menunjukkan penilaian mereka terhadap penampilan kedua pengamen perempuan itu. Beberapa penumpang mencoba mengikhlaskan uang mereka disesaki ke kantong permen lusuh itu. Beberapa lainnya hanya diam, bersikap acuh tak acuh. Namun ada juga yang menunjukkan penolakan secara halus. Memang, eksploitasi anak di bawah umur masih cukup tinggi di negara yang katanya kaya ini. Mereka ibarat mesin pencetak uang yang dimanfaatkan untuk turut serta mengais rezeki. Hak asasi manusia mereka terabaikan. Perlindungan dan kasih sayang orang tua seakan jauh dari dunia mereka. Dunia anak-anak yang penuh dengan suka cita dan tanpa beban. Jika bicara siapa dan dari mana semua permasalahan ini bermula, kita tidak dapat langsung menunjuk pada suatu objek. Ibarat lingkaran, begitulah masalah itu terlihat. Dalam UUD disebutkan bahwa pengemis dan anak-anak jalanan dipelihara oleh negara. Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang justru mendapatkan perlakuan tidak adil dan terkesan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, apa yang kita lakukan? Apakah hanya berdiam diri saja dan berlaku apatis akan masalah ini? Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar karena memiliki lebih dari 200 juta jiwa penduduk. Ini adalah modal yang sungguh luar biasa untuk memajukan Indonesia. Jika penanganan sumberdaya manusia yang besar ini terlaksana dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia dapat menjadi negara yang makmur dan sejahtera bahkan mampu menjadi raja dari negara-negara lain. Slogan ‘Makin Banyak Anak, Makin Banyak Rezeki’, kini bergeser menjadi ‘Makin Banyak Anak, Makin Marak Eksploitasi’. Peradaban masyarakat Indonesia yang diciptakan oleh generasi sebelumnya hingga sekarang memang masih menyisakan prinsip itu. Sehingga sangat disayangkan pengelolaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sebenarnya program pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan penduduk sudah banyak, namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan monitoring dan evaluasi yang efektif agar tepat sasaran. Program keluarga berencana, transmigrasi dan sebagainya adalah contoh beberapa program pemerintah dalam upaya mengatasi kepadatan penduduk. Karena seperti yang kita tahu, saat ini isu global mengenai pangan, lingkungan, dan energi terus menjadi masalah pelik peradaban manusia. Khusus di Indonesia, secara tidak langsung isu tersebut terkait dengan upaya pengeksploitasian anak di bawah umur. Pangan menjadi salah satu unsur yang penting dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia. Diperkirakan penduduk dunia yang saat ini berjumlah kurang lebih 3 milyar akan meningkat menjadi 9 milyar pada 30 tahun mendatang. Terbayang, kebutuhan pangan akan meningkat sebanyak 70% untuk jumlah penduduk tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada harga pangan yang semakin tinggi, sehingga bagi penduduk Indonesia yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan akan sulit terjangkau. Akhirnya mereka mencoba mencari jalan pintas, cepat dan mudah, untuk mendapatkan kepingan dan lembaran uang dengan cara mengemis. Eksploitasi anak dilakukan agar hasil uang yang dikumpulkan banyak dan cepat. Mengapa mereka memanfaatkan anak di bawah umur? Fenomena ini bukan lagi hal yang baru. Anak-anak dijadikan objek dalam mencari uang. Sikap mereka yang polos dan belum mampu memikirkan dampaknya menjadi keuntungan tersendiri bagi para explorer dalam menjalankan operasinya. Sebenarnya, jika ditanyakan apakah masyarakat Indonesia yang lain tahu akan hal ini, pasti jawabannya ‘Ya’. Namun, mengapa eksploitasi terus saja bergulir seperti snowball? Apatis, menjadi pilihan mereka. Pemerintahlah yang seharusnya menangani masalah eksploitasi ini karena seperti yang tercantum dalam UUD, pengemis dan anak jalanan dipelihara oleh negara. Sikap acuh tak acuh tersebut makin mendorong maraknya tindakan eksploitasi di tengah kondisi isu kemanusiaan saat ini. Negara yang baik adalah negara yang memiliki pemerintahan yang sinergis dengan rakyatnya begitu pula sebaliknya. Sehingga ada upaya gotong royong dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang terjadi di negara tersebut. Harapan itu masih ada. Ya, begitulah yang dapat menjadi motivasi bagi kita penduduk Indonesia. Beberapa keluarga yang memiliki anak banyak seakan jika membentuk kesebelasan sepak bola cukup dari keluarga tersebut, masih mempertahankan anak mereka untuk tidak menjadi objek eksploitasi dalam mencari uang. Orang tua yang justru harus bekerja keras dalam menghidupi dan menjamin masa depan anak-anaknya. Ini merupakan investasi yang sangat luar biasa, investasi sumberdaya manusia. Dengan ketekunan orang tua, tidak sedikit anak berprestasi dan berhasil berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kebanggaan tersendiri tidak hanya bagi orang tua, namun juga bagi negara, menuju peradaban manusia yang lebih baik. Nilai kemanusiaan sesungguhnya ada di sini, yaitu memanusiakan manusia. *Biodata Penulis Sumi Arrofi IPBPagi itu, matahari enggan berbagi sinarnya. Hanya keperkasaan awan mendung yang tampak. Sudah beberapa hari ini kota asal talas, Bogor, diguyur hujan. Seolah terpola begitu saja, tumpahan air dari langit hanya terjadi setiap jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Namun, untuk pagi itu tidak demikian karena air hujan jatuh lebih awal. Kesibukkan tampak terlihat di berbagai tempat, termasuk Stasiun Bogor. Hujan seakan tak menyurutkan semangat para pencari rizki di kala itu. Mulai dari pengemis, penjaja makanan, sampai pekerja kantoran, lalu lalang dan sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Terdengar dari kejahuan, suara tanda KRL ekonomi Bogor-Jakarta akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang sudah memegang tiket KRL ekonomi segera mempercepat langkahnya, bergegas masuk ke dalam kereta. Tapi, ternyata kereta masih belum dapat diberangkatkan alias terlambat dari jadwal semula. Terpaksa, para calon penumpang harus menunggu. Bagi yang sering menggunakan jasa KRL ekonomi, sudah tidak asing lagi melihat pemandangan di atas kereta. Berbagai aktifitas untuk mengumpulkan lembaran uang dan kepingan receh terjadi di sana. Ada yang menjajakan buah dengan kereta dorong buatan sendiri, yang jika dipikir cukup kreatif juga si pembuatnya. Ada juga yang menyapu lantai kereta dengan potongan bekas pembersih air. Ada yang menjual suaranya atau kemampuan mengiba ke orang lain, dan masih banyak lagi. Tiba-tiba fenomena miris muncul. Suara melengking namun tepat dengan nada lagu yang keluar dari tape ber-speaker sedang, mengalun indah. Seorang anak perempuan berumur kisaran 4 tahun, melantunkan tembang yang menjadi salah satu hits saat itu. Sambil memegang kantong bekas bungkus permen, anak itu berdiri di antara sambungan gerbong kereta. Bernyanyi dan terus bernyanyi, anak perempuan itu ditemani oleh seorang remaja putri yang terlihat menggendong speaker ukuran sedang serta memegang erat pengeras suara. Mungkin remaja putri itu kakak dari anak perempuan 4 tahun. Duet maut tak terelakan, terjadi antara mereka berdua di atas gerbong yang mulai dipadati para penumpang. Perlahan kedua penyanyi jalanan itu berjalan sambil menengadahkan kantong permen yang sudah lusuh ke para penumpang di kanan kiri gerbong. Reaksi berbeda yang muncul dari para penumpang seolah menunjukkan penilaian mereka terhadap penampilan kedua pengamen perempuan itu. Beberapa penumpang mencoba mengikhlaskan uang mereka disesaki ke kantong permen lusuh itu. Beberapa lainnya hanya diam, bersikap acuh tak acuh. Namun ada juga yang menunjukkan penolakan secara halus. Memang, eksploitasi anak di bawah umur masih cukup tinggi di negara yang katanya kaya ini. Mereka ibarat mesin pencetak uang yang dimanfaatkan untuk turut serta mengais rezeki. Hak asasi manusia mereka terabaikan. Perlindungan dan kasih sayang orang tua seakan jauh dari dunia mereka. Dunia anak-anak yang penuh dengan suka cita dan tanpa beban. Jika bicara siapa dan dari mana semua permasalahan ini bermula, kita tidak dapat langsung menunjuk pada suatu objek. Ibarat lingkaran, begitulah masalah itu terlihat. Dalam UUD disebutkan bahwa pengemis dan anak-anak jalanan dipelihara oleh negara. Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang justru mendapatkan perlakuan tidak adil dan terkesan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, apa yang kita lakukan? Apakah hanya berdiam diri saja dan berlaku apatis akan masalah ini? Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar karena memiliki lebih dari 200 juta jiwa penduduk. Ini adalah modal yang sungguh luar biasa untuk memajukan Indonesia. Jika penanganan sumberdaya manusia yang besar ini terlaksana dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia dapat menjadi negara yang makmur dan sejahtera bahkan mampu menjadi raja dari negara-negara lain. Slogan ‘Makin Banyak Anak, Makin Banyak Rezeki’, kini bergeser menjadi ‘Makin Banyak Anak, Makin Marak Eksploitasi’. Peradaban masyarakat Indonesia yang diciptakan oleh generasi sebelumnya hingga sekarang memang masih menyisakan prinsip itu. Sehingga sangat disayangkan pengelolaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sebenarnya program pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan penduduk sudah banyak, namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan monitoring dan evaluasi yang efektif agar tepat sasaran. Program keluarga berencana, transmigrasi dan sebagainya adalah contoh beberapa program pemerintah dalam upaya mengatasi kepadatan penduduk. Karena seperti yang kita tahu, saat ini isu global mengenai pangan, lingkungan, dan energi terus menjadi masalah pelik peradaban manusia. Khusus di Indonesia, secara tidak langsung isu tersebut terkait dengan upaya pengeksploitasian anak di bawah umur. Pangan menjadi salah satu unsur yang penting dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia. Diperkirakan penduduk dunia yang saat ini berjumlah kurang lebih 3 milyar akan meningkat menjadi 9 milyar pada 30 tahun mendatang. Terbayang, kebutuhan pangan akan meningkat sebanyak 70% untuk jumlah penduduk tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada harga pangan yang semakin tinggi, sehingga bagi penduduk Indonesia yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan akan sulit terjangkau. Akhirnya mereka mencoba mencari jalan pintas, cepat dan mudah, untuk mendapatkan kepingan dan lembaran uang dengan cara mengemis. Eksploitasi anak dilakukan agar hasil uang yang dikumpulkan banyak dan cepat. Mengapa mereka memanfaatkan anak di bawah umur? Fenomena ini bukan lagi hal yang baru. Anak-anak dijadikan objek dalam mencari uang. Sikap mereka yang polos dan belum mampu memikirkan dampaknya menjadi keuntungan tersendiri bagi para explorer dalam menjalankan operasinya. Sebenarnya, jika ditanyakan apakah masyarakat Indonesia yang lain tahu akan hal ini, pasti jawabannya ‘Ya’. Namun, mengapa eksploitasi terus saja bergulir seperti snowball? Apatis, menjadi pilihan mereka. Pemerintahlah yang seharusnya menangani masalah eksploitasi ini karena seperti yang tercantum dalam UUD, pengemis dan anak jalanan dipelihara oleh negara. Sikap acuh tak acuh tersebut makin mendorong maraknya tindakan eksploitasi di tengah kondisi isu kemanusiaan saat ini. Negara yang baik adalah negara yang memiliki pemerintahan yang sinergis dengan rakyatnya begitu pula sebaliknya. Sehingga ada upaya gotong royong dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang terjadi di negara tersebut. Harapan itu masih ada. Ya, begitulah yang dapat menjadi motivasi bagi kita penduduk Indonesia. Beberapa keluarga yang memiliki anak banyak seakan jika membentuk kesebelasan sepak bola cukup dari keluarga tersebut, masih mempertahankan anak mereka untuk tidak menjadi objek eksploitasi dalam mencari uang. Orang tua yang justru harus bekerja keras dalam menghidupi dan menjamin masa depan anak-anaknya. Ini merupakan investasi yang sangat luar biasa, investasi sumberdaya manusia. Dengan ketekunan orang tua, tidak sedikit anak berprestasi dan berhasil berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kebanggaan tersendiri tidak hanya bagi orang tua, namun juga bagi negara, menuju peradaban manusia yang lebih baik. Nilai kemanusiaan sesungguhnya ada di sini, yaitu memanusiakan manusia. *Biodata Penulis Sumi Arrofi IPBPagi itu, matahari enggan berbagi sinarnya. Hanya keperkasaan awan mendung yang tampak. Sudah beberapa hari ini kota asal talas, Bogor, diguyur hujan. Seolah terpola begitu saja, tumpahan air dari langit hanya terjadi setiap jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Namun, untuk pagi itu tidak demikian karena air hujan jatuh lebih awal. Kesibukkan tampak terlihat di berbagai tempat, termasuk Stasiun Bogor. Hujan seakan tak menyurutkan semangat para pencari rizki di kala itu. Mulai dari pengemis, penjaja makanan, sampai pekerja kantoran, lalu lalang dan sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Terdengar dari kejahuan, suara tanda KRL ekonomi Bogor-Jakarta akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang sudah memegang tiket KRL ekonomi segera mempercepat langkahnya, bergegas masuk ke dalam kereta. Tapi, ternyata kereta masih belum dapat diberangkatkan alias terlambat dari jadwal semula. Terpaksa, para calon penumpang harus menunggu. Bagi yang sering menggunakan jasa KRL ekonomi, sudah tidak asing lagi melihat pemandangan di atas kereta. Berbagai aktifitas untuk mengumpulkan lembaran uang dan kepingan receh terjadi di sana. Ada yang menjajakan buah dengan kereta dorong buatan sendiri, yang jika dipikir cukup kreatif juga si pembuatnya. Ada juga yang menyapu lantai kereta dengan potongan bekas pembersih air. Ada yang menjual suaranya atau kemampuan mengiba ke orang lain, dan masih banyak lagi. Tiba-tiba fenomena miris muncul. Suara melengking namun tepat dengan nada lagu yang keluar dari tape ber-speaker sedang, mengalun indah. Seorang anak perempuan berumur kisaran 4 tahun, melantunkan tembang yang menjadi salah satu hits saat itu. Sambil memegang kantong bekas bungkus permen, anak itu berdiri di antara sambungan gerbong kereta. Bernyanyi dan terus bernyanyi, anak perempuan itu ditemani oleh seorang remaja putri yang terlihat menggendong speaker ukuran sedang serta memegang erat pengeras suara. Mungkin remaja putri itu kakak dari anak perempuan 4 tahun. Duet maut tak terelakan, terjadi antara mereka berdua di atas gerbong yang mulai dipadati para penumpang. Perlahan kedua penyanyi jalanan itu berjalan sambil menengadahkan kantong permen yang sudah lusuh ke para penumpang di kanan kiri gerbong. Reaksi berbeda yang muncul dari para penumpang seolah menunjukkan penilaian mereka terhadap penampilan kedua pengamen perempuan itu. Beberapa penumpang mencoba mengikhlaskan uang mereka disesaki ke kantong permen lusuh itu. Beberapa lainnya hanya diam, bersikap acuh tak acuh. Namun ada juga yang menunjukkan penolakan secara halus. Memang, eksploitasi anak di bawah umur masih cukup tinggi di negara yang katanya kaya ini. Mereka ibarat mesin pencetak uang yang dimanfaatkan untuk turut serta mengais rezeki. Hak asasi manusia mereka terabaikan. Perlindungan dan kasih sayang orang tua seakan jauh dari dunia mereka. Dunia anak-anak yang penuh dengan suka cita dan tanpa beban. Jika bicara siapa dan dari mana semua permasalahan ini bermula, kita tidak dapat langsung menunjuk pada suatu objek. Ibarat lingkaran, begitulah masalah itu terlihat. Dalam UUD disebutkan bahwa pengemis dan anak-anak jalanan dipelihara oleh negara. Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang justru mendapatkan perlakuan tidak adil dan terkesan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, apa yang kita lakukan? Apakah hanya berdiam diri saja dan berlaku apatis akan masalah ini? Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar karena memiliki lebih dari 200 juta jiwa penduduk. Ini adalah modal yang sungguh luar biasa untuk memajukan Indonesia. Jika penanganan sumberdaya manusia yang besar ini terlaksana dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia dapat menjadi negara yang makmur dan sejahtera bahkan mampu menjadi raja dari negara-negara lain. Slogan ‘Makin Banyak Anak, Makin Banyak Rezeki’, kini bergeser menjadi ‘Makin Banyak Anak, Makin Marak Eksploitasi’. Peradaban masyarakat Indonesia yang diciptakan oleh generasi sebelumnya hingga sekarang memang masih menyisakan prinsip itu. Sehingga sangat disayangkan pengelolaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sebenarnya program pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan penduduk sudah banyak, namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan monitoring dan evaluasi yang efektif agar tepat sasaran. Program keluarga berencana, transmigrasi dan sebagainya adalah contoh beberapa program pemerintah dalam upaya mengatasi kepadatan penduduk. Karena seperti yang kita tahu, saat ini isu global mengenai pangan, lingkungan, dan energi terus menjadi masalah pelik peradaban manusia. Khusus di Indonesia, secara tidak langsung isu tersebut terkait dengan upaya pengeksploitasian anak di bawah umur. Pangan menjadi salah satu unsur yang penting dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia. Diperkirakan penduduk dunia yang saat ini berjumlah kurang lebih 3 milyar akan meningkat menjadi 9 milyar pada 30 tahun mendatang. Terbayang, kebutuhan pangan akan meningkat sebanyak 70% untuk jumlah penduduk tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada harga pangan yang semakin tinggi, sehingga bagi penduduk Indonesia yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan akan sulit terjangkau. Akhirnya mereka mencoba mencari jalan pintas, cepat dan mudah, untuk mendapatkan kepingan dan lembaran uang dengan cara mengemis. Eksploitasi anak dilakukan agar hasil uang yang dikumpulkan banyak dan cepat. Mengapa mereka memanfaatkan anak di bawah umur? Fenomena ini bukan lagi hal yang baru. Anak-anak dijadikan objek dalam mencari uang. Sikap mereka yang polos dan belum mampu memikirkan dampaknya menjadi keuntungan tersendiri bagi para explorer dalam menjalankan operasinya. Sebenarnya, jika ditanyakan apakah masyarakat Indonesia yang lain tahu akan hal ini, pasti jawabannya ‘Ya’. Namun, mengapa eksploitasi terus saja bergulir seperti snowball? Apatis, menjadi pilihan mereka. Pemerintahlah yang seharusnya menangani masalah eksploitasi ini karena seperti yang tercantum dalam UUD, pengemis dan anak jalanan dipelihara oleh negara. Sikap acuh tak acuh tersebut makin mendorong maraknya tindakan eksploitasi di tengah kondisi isu kemanusiaan saat ini. Negara yang baik adalah negara yang memiliki pemerintahan yang sinergis dengan rakyatnya begitu pula sebaliknya. Sehingga ada upaya gotong royong dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang terjadi di negara tersebut. Harapan itu masih ada. Ya, begitulah yang dapat menjadi motivasi bagi kita penduduk Indonesia. Beberapa keluarga yang memiliki anak banyak seakan jika membentuk kesebelasan sepak bola cukup dari keluarga tersebut, masih mempertahankan anak mereka untuk tidak menjadi objek eksploitasi dalam mencari uang. Orang tua yang justru harus bekerja keras dalam menghidupi dan menjamin masa depan anak-anaknya. Ini merupakan investasi yang sangat luar biasa, investasi sumberdaya manusia. Dengan ketekunan orang tua, tidak sedikit anak berprestasi dan berhasil berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kebanggaan tersendiri tidak hanya bagi orang tua, namun juga bagi negara, menuju peradaban manusia yang lebih baik. Nilai kemanusiaan sesungguhnya ada di sini, yaitu memanusiakan manusia. *Biodata Penulis Sumi Arrofi IPB]]>

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

First Name*
Subject*
Email*
Your Comments

Kirim Pesan
Join Chat
Assalaamualaikum Wr.Wb

Terima kasih telah mengunjungi IMZ – Your Strategic Partner for Training, Research, & Development.

Ada yang bisa kami bantu ?
Klik tombol kirim pesan dibawah ini.