Dengan mengenakan kaos kuning, celana abu-abu berbahan katun lusuh, sandal jepit sebagai alas kaki, dan topi berwarna merah tua untuk melindunginya dari sengatan sinar matahari yang begitu terik siang itu, hingga matahari nampak sejengkal di atas kepala, Pak Nana Swana (35) mengelilingi universitas negeri ternama di Jatinangor, Jawa Barat pada Senin (30/4/2012). Ia mengambil sampah-sampah dari setiap tong besar antar fakultas. Itulah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Pemulung, itulah namanya. Sudah dua tahun belakangan ini ia menjalani pekerjaannya sebagai pemulung, keadaan yang membuatnya tidak ada pilihan lain, meski dengan keterpaksaan. Dulu, sebelum menjadi pemulung, ia mempunya kios di pasar Dangdeur. Kios yang dipakai untuk berjualan sayur-sayuran dan bahan pangan lainnya. Dimodalkan oleh seorang rentenir sebesar 900.000 rupiah dengan bunga yang tidak sedikit setiap bulannya. Seiring berjalannya waktu, bunga yang berjalan setiap bulan membuat hutangnya pada rentenir semakin membengkak. Kios milik Pak Nana dihancurkan oleh rentenir, semua sayuran dan bahan pangan lainnya juga ikut dihancurkan. Tidak ada yang tersisa, bahkan kayu-kayu yang dipergunakan sebagai meja untuk menaruh sayuran dan bahan pangan lainnya juga ikut dihancurkan. Semua itu dilakukan karena rentenir marah pada Pak Nana yang tidak bisa mengembalikan modal yang dipinjamkannya, berikut bunga. Bukan hanya menghancurkan kios, namun juga rentenir memakai ilmu ‘guna-guna’ untuk menaruh paku di dalam leher Pak Nana. Begitulah pengakuan Pak Nana. Tidak bermaksud suudzon, namun Pak Nana sudah mengeceknya ke ‘orang pintar’ tentang lehernya yang ia rasa aneh. Sakit bila berbicara, gatal, dan seperti ada sesuatu yang nyangkut. Hal ini membuat Pak Nana susah untuk berbicara, siapapun yang berbicara dengannya harus mendengarkan dengan seksama. Paku yang ada di dalam lehernya membuat suara yang dikeluarkan Pak Nana tidak jelas. Setelah kiosnya di pasar Dangdeur dihancurkan oleh rentenir, ia dan istrinya memutuskan untuk membuka kios di pasar Rancaekek dengan uang yang tersisa. Dengan tetap berjualan sayuran dan bahan pangan lainnya. Kios keduanya tidak bertahan lama, karena rentenir kembali menghancurkannya. Pak Nana masih belum bisa mengembalikan modal yang dipinjamkan sang rentenir, beserta bunga. Itulah yang membuat rentenir melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Pak Nana sudah mencoba menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, namun sang rentenir tidak mau. Rentenir hanya mau modal yang ia pinjamkan kembali, tentu saja berikut bunga, lalu masalah akan beres. Paku-paku yang ada di leher Pak Nana juga baru akan dikeluarkan setelah Pak Nana bisa membayar lunas hutangnya. Sungguh kejam, masih saja di dunia yang sudah modern ini terdapat orang yang memakai ilmu ‘guna-guna’ untuk melampiaskan kemarahannya. Dua anak dan satu istrinya, yang membuatnya sekali lagi bangkit dari keterpurukan. Tak menyerah oleh keadaan, ia bertahan dan berjuang. Setelah membuka kios untuk kedua kalinya yang bernasib sama seperti kiso pertamanya, ia memutuskan untuk menjadi pemulung. Dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar membutukan biaya yang tidak sedikit untuk bisa tetap bersekolah, rumah kontrakan tempat ia dan keluarganya tinggal yang harus dibayar setiap bulan, juga biaya makan mereka sehari-hari, itu semua yang harus ia tanggung sebagai kepala keluaga. Istrinya yang jatuh dari motor, telah membuat kakinya tidak bisa berjalan secara normal, hal ini yang membuatnya hanya bisa mengurus pekerjaan rumah. Tidak bisa membantu mencari nafkah atau mencari tambahan uang untuk membantu suaminya dalam menanggung kebutuhan keluarga. Setiap hari Pak Nana berangkat sekitar pukul tujuh dari rumahnya di Jati Sari, Cikuda. Pak Nana langsung menuju tempat ia biasa memulung, karena lokasi tempatnya memulung sangat luas, biasanya ia akan selesai pada pukul empat atau lima sore. Setelah selesai, ia akan menyetorkan sampah-sampah yang ia ambil ke tempat penyetoran sampah para pemulung di Cikuda, dekat rumahnya. Biasanya setelah menyetor, ia akan langsung pulang dengan membawa uang hasil kerjanya. Uang yang didapat tidaklah banyak, hanya Rp 20.000-30.000, tetapi kalau sedang untung ia bisa dapat Rp 40.000. Dengan kesederhanaan ekonomi yang dimiliki keluarga Pak Nana, ia dan keluarganya masih bisa merasakan nasi putih beserta lauk pauk seadanya. Anak-anaknya bisa tetap duduk di bangku sekolah untuk menggapai cita-citanya kelak dan menjadi pemuda-pemudi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Mungkin hanya itulah yang menjadi tujuan utama Pak Nana tetap semangat dalam menjalani hari-harinya sebagai pemulung, melihat anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang berkualitas dan bermoral. Merupakan suatu hal yang membahagiakan bagi seorang ayah, melihat keberhasilan anaknya. “Saya ingin kembali berbicara dengan normal, capek mbak kayak gini terus. Sakit setiap ngomong,” tutur Pak Anas lirih. Dalam hidupnya Pak Nana masih menyimpan impian, ia rindu keadaan dimana ia bisa bebas berbicara, mengeluarkan suara dari tenggorokannya tanpa harus merasakan sakit, dan bebas membuka mulutnya kapanpun ia mau. Semua itu bisa ia dapatkan jika paku-paku yang ada di dalam tenggorokannya sudah dikeluarkan. Hanya sang rentenirlah yang mampu melakukannya, dengan cara Pak Nana membayar lunas semua hutangnya yang kini sudah menjadi gunung karena bunganya yang terus memuncak setiap bulan. Perjuangangannya benar-benar patut diapresiasikan. Tidak banyak orang seperti Pak Nana, sudah dua kali mengalami musibah besar tapi masih mau bangkit dari keterpurukannya. Semua itu ia lakukan demi keluarganya, begitulah seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab. Ia terus berjalan, bertahan, dan berjuang melewati setiap kerikil-keril tajam yang ia temui di perjalanannya. Tidak peduli seberat apa hambatan yang ia hadapi, dalam benaknya hanya ada ‘Anak-anak saya harus sekolah dan keluarga saya butuh makan’. *Biodata Penulis: Dinda Audriene Muthmainah 081287339207 Mahasiswa dari Fakultas Komunikasi, Universitas Padjadjaran. ]]>