Dengan pemberlakuan zakat sebagai pengurang pajak, penerimaan pajak meningkat di Malaysia.
VIVAnews(21/9) – Sebelumnya, seperti dikutip di media, Menteri Keuangan keberatan dengan rencana memasukkan zakat sebagai dasar pengurang pajak yang diatur dalam RUU Pengelolaan Zakat. Tak hanya itu, faktor-faktor lain sebagai pengurang pajak menurut Menkeu juga sedang dikaji lagi keberadaannya.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo tidak menjelaskan kenapa faktor pengurang pajak ini akan dikaji lagi. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan, alasan zakat tidak perlu masuk sebagai pengurang pajak karena sudah diakomodasi dalam undang-undang perpajakan.
Dalam UU perpajakan, zakat digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan bruto wajib pajak. Untuk itu pengaturan zakat sebagai pengurang pajak diatur dalam RUU Pengelolaan Zakat dianggap tidak perlu.
Menurut saya, pernyataan itu merupakan cermin ego sektoral ini terlihat jelas dari kekhawatiran dengan pemberlakuan zakat sebagai pengurang pajak akan mengurangi penerimaan pajak. Sesuatu yang di Malaysia justru sebaliknya.
Dengan pemberlakuan zakat sebagai pengurang pajak, penerimaan pajak meningkat di Malaysia. Salah satu agenda utama KIB Jilid II ini mengurangi kemiskinan secara signifikan. Zakat sejatinya untuk bangsa. Karena disalurkan secara substansial untuk mereka yang berkekurangan. Terlebih dominan penerima zakat kalangan fakir miskin yang dalam jangka panjang insya Allah mereka akan menjadi muzaki (penzakat) yang dengan sendirinya menjadi wajib pajak.
Praktisi zakat adalah mitra koalisi permanen pemerintah secara nyata. Tak pernah meminta kursi, tetapi terus berkontribusi mengentaskan kemiskinan secara nyata. Peran ini dapat dilihat dari kiprah lembaga zakat yang ada.
Dengan mengelola secara akumulasi Rp1,2 triliun dana zakat tahun 2009 oleh puluhan lembaga dan badan zakat. Hasilnya, sangat dirasakan masyarakat. Pernyataan ini dapat dikatakan defisitnya jiwa negarawan pada elite birokrasi.
Di berbagai negara, seperti Australia dan Singapura, zakat telah menjadi bagian dari pengurang pajak. Keberadaannya telah menjadi ciri dari keberpihakan negara kepada upaya membangun bangsa secara utuh. Diharapkan keduanya tidak terjebak pada soal kalkulasi angka-angka semata.
Sebaiknya Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak lebih fokus pada upaya memperkecil kebocoran pajak dengan mengefektifkan tindak lanjut mafia pajak ala Gayus dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
GZUI (Gerakan Zakat untuk Indonesia) mendukung dan meminta komisi VIII DPR RI memasukkan klausul zakat sebagai pengurang pajak pada revisi UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. GZUI juga meminta komisi VIII DPR RI menuntaskan revisi undang-undang ini tahun 2010. Bila Komisi VIII DPR RI tak dapat menyelesaikan, juga merupakan cermin kemiskinan sensitivitas sosial wakil rakyat yang membiarkan terkatung-katungnya regulasi pengelolaan zakat di Indonesia.
GZUI adalah wahana sejumlah lembaga zakat dari berbagai provinsi di Indonesia, mayoritas berisi lembaga zakat daerah. Berdiri tahun 2007 di Batam. Kepengurusan GZUI kini memasuki periode kedua. Pengurus baru terpilih pada Mei 2010 pada pertemuan GZUI di Makassar.
Sumber : http://ureport.vivanews.com/