Ciputat, 23 Nopember 2011
Tahun 2010 lalu, IMZ melakukan riset tentang peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Hasilnya adalah dari sebanyak 8 lembaga zakat yang dilakukan survey terhadap program-program pemberdayaan masyarakatnya, menunjukkan bahwa zakat mampu mengangkat kelompok miskin sebesar 10,79%. Tren kemampuan zakat mengurangi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat Indonesia semakin mengalami peningkatan. Informasi yang direlease IMZ bulan Agustus 2011 lalu ternyata peran zakat dalam pengentasan kemiskinan angkanya meningkat menjadi 24% lebih.
Islam mewajibkan kepada setiap individu yang hidup dalam kehidupan sosial agar senantiasa berusaha merealisasikan kehidupan yang layak. Setiap individu wajib mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk memiliki taraf hidup yang baik. Agar bisa melindungi diri dan masyarakat sekitarnya dari keganasan kemiskinan. Menurut Prof. Dr. Yusuf Qaradhawy, Islam menawarkan setidaknya 6 strategi penciptaan kondisi ideal pengentasan kemiskinan. Diantaranya,
pertama adalah bekerja. Bekerja adalah senjata pertama dalam memerangi kemiskinan. Bekerja adalah penyebab utama penghasil harta/benda dan unsur utama pula dalam upaya memakmurkan diri dan bumi Allah. Dalam naungan system dan peraturan Islam, tidak ada seorang pekerjapun yang tidak mendapatkan upah dari hasil jerih payah dan keringatnya.
Kedua, Islam secara rinci sangat memperhatikan kelompok-kelompok miskin yang tidak mampu untuk melakukan aktivitas bekerja, seperti janda-janda tua, jompo, dan kelompok-kelompok lainnya. Islam memberikan dan menegaskan bahwa keluarga terdekat mempunyai tanggungjawab utama dalam menanggung beban mereka. Islam dengan tegas mengecam dan mengancam orang-orang yang sengaja memutus tali persaudaraan dan membiarkan saudaranya tenggelam dalam kesusahan. Memberikan nafkah kepada kerabat yang miskin berarti kita telah meletakkan batu pertama dalam bangunan solidaritas sosial.
Ketiga adalah zakat. Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy). Artinya zakat adalah sesuatu yang pasti, tentang kadar dan hitungannya, serta jelas siapa saja yang berhak menerima zakat itu sendiri. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
Keempat adalah pendapatan Negara dari sumber-sumber pengelolaan kekayaan Negara lainnya. Baik yang dikelola sendiri ataupun dikerjasamakandengan pihak lain. Sumber-sumber ekonomi Negara tidak boleh dikelola oleh individu agar seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat merasakan manfaatnya.
Kelima adalah kewajiban-kewajiban lain yang melekat pada diri seorang muslim. Diantaranya adalah; hak bertetangga. Berbuat baik kepada tetangga adalah bukti kesempurnaan iman. Selanjutnya adalah kurban pada hari raya Idul Adha, sanksi pelanggaran sumpah, kaffarat, sanksi hubungan suami istri pada bulan ramadhan, fidyah orang jompo, hady (sumbangan orang yang melaksanakan ibadah haji atau umroh), kewajiban saat panen diluar zakat, terakhir adalah saat zakat tidak mencukupi untuk kebutuhan orang-orang fakir/miskin maka ada kewajiban lain yaitu tanggungan fakir miskin.
Keenam adalah derma karena kesalehan. Derma lebih tergantung kepada keluhuran pribadi dan kedermawanan serta kepedulian orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Tidak mengikat dan kurang memberikan dampak dalam upaya pemerataan distribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan. Apalagi jika orang-orang kaya tersebut hatinya telah membatu dan lemah iman.
Diantara sarana pengentasan kemiskinan diatas, zakat merupakan salah satu potensi terbaik upaya pengentasan orang-orang dari kemiskinan. Konteks zakat sangat menutupi kelemahan-kelemahan strategi distrisbusi harta orang-orang kaya kepada orang-orang miskin serta upaya pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan sarana yang lainnya, tanpa membuat strata diantara masing-masing sarana.
Islam sangat memperhatikan kelompok-kelompok yang tidak mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan standar hidupnya, dimana kelompok lainnya sebenarnya mengetahui dan ada yang mampu namun tidak memberikan bantuan apapun. Allah SWT dengan tegas menetapkan adanya hak dan kewajiban antar 2 kelompok di atas (kaya dan miskin) dalam pemerataan distribusi harta kekayaan, yaitu dengan mekanisme zakat. Zakat dalam Islam secara teoritik adalah kewajiban atau hutang yang dibebankan di pundak orang-orang kaya untuk ditunaikan kepada orang-orang lemah yang berhak. Zakat juga merupakan kewajiban yang jelas dan tegas, telah ditentukan hubungan dan kadarnya. Zakat bukanlah amal baik individual atau sumbangan sukarela. Zakat merupakan hak dan kewajiban. Zakat adalah sebuah sistem yang diciptakan Allah untuk hambanya dalam upaya memberikan jaminan sosial masyarakat.
Seperti halnya siang dan malam, kelapangan rizki untuk sebagian orang juga merupakan sunatullah untuk menciptakan keseimbangan kehidupan sosial manusia itu sendiri. Keseimbangan distribusi nikmat kekayaan menjamin keamanan dan kelestarian harta orang-orang kaya dari kemungkinan-kemungkinan iri dan dengki orang-orang miskin. Sisi lain, adanya jaminan sosial dari harta orang-orang kaya menghilangkan ketakutan-ketakutan akan problema hidup yang mungkin akan dihadapi oleh orang-orang miskin.
Jaminan sosial yang lahir dari hak dan kewajiban zakat menyentuh seluruh masyarakat dalam suatu wilayah kenegeraan. Karena pada akhirnya masyarakat akan terbagi menjadi 2 kelompok saja, yaitu pembayar zakat dan penerima zakat. Kondisi ini memerlukan pengelolaan yang sistemik, agar potensinya sebagai alat pemerataan rizki dari Allah dapat terealisasi.
Konteks pengelolaan zakat di Indonesia adalah sebuah kekhususan. Hukum Islam bukanlah sesuatu yang populer. Pengaturan zakat lahir setelah sejumlah kelompok masyarakat bergerak mengelola zakat di masyarakat. Sehingga peran pemerintah seperti tertinggal beberapa langkah dalam memanej potensi zakat, yang menurut beberapa hasil riset mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari 200 trilyun rupiah.
Menurut Yusuf Qaradhawy, dalam kondisi Negara yang carut marut pengelolaan zakatnya maka akan terlihat beberapa hal sebagai berikut :
Pertama; besarnya potensi hanya menjadi sebuah wacana. Pengumpulan zakat akan minim dibandingkan dengan potensi. Sehingga mengakibatkan kebutuhan fakir miskin dan problema sosial kemasyarakatan tidak akan terselesaikan. Minimnya pengumpulan biasanya disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya lemahnya motivasi keagamaan dan kesadaran keislaman pada mayoritas masyarakatnya. Juga disebabkan karena tidak adanya kepercayaan kepada pengelolanya. Stigma pegawai Negara yang tidak mampu mengemban amanah masyarakat sangat kental melekat di aparatur Negara kita saat ini. Perilaku serakah, tamak dan tidak pernah puas akan apa yang sudah dimiliki mendorong pejabat-pejabat Negara kita sekarang ini menghalalkan apapun yang bukan haknya.
Penyebab lain yang mengurangi minimnya pengumpulan zakat adalah karena telah bergesernya perilaku hidup masyarakat kita secara luas. Gaya hidup glamor, hedonis, dan tidak ingin tersaingi dalam gaya hidup mendorong pemborosan harta yang menyebabkan bagian harta orang miskin yang melekat dalam harta orang-orang kaya habis percuma. Menggerogoti dan menguras potensi (zakat) yang kita miliki untuk hal-hal yang tidak memberikan manfaat bagi agama dan kehidupan.
Kedua; pola pendistribusian cenderung tidak obyektif dan simpang siur. Lemahnya dedikasi, profesionalitas dan keimanan menyebabkan distribusi zakat berpotensi menyimpang. Orang yang berhak menerima dapat saja tidak menerima haknya. Dan orang yang tidak berhak, mendapat bagian yang bukan haknya. Akibat selanjutnya, zakat sendiri tidak akan mampu memenuhi kebutuhan fakir miskin, kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit.
Akibat dari kondisi-kondisi di atas memungkinkan lahirnya kekecewaan dan protes terhadap sistem zakat yang dianggap tidak mampu memperbaiki kondisi kemiskinan. Sikap seperti ini akhirnya dikhawatirkan melahirkan skeptis dan apatis terhadap seluruh sistem dan tata aturan Islam secara umum.
Membangun sebuah sistem pengentasan kemiskinan berbasis zakat tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, Indonesia bukanlah Negara penganut sistem dan hukum Islam. Diperlukan kearifan dalam membangun sinergi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok masyarakat yang concern dalam upaya pengentasan kemiskinan. Negara setidaknya harus mengakui bahwa pengelolaan zakat di Indonesia yang dilakukannya masih jauh dari ideal. Pembangunan sistem pengelolaan zakat yang melibatkan struktur kemasyarakatan yang paling dekat dengan masyarakat itu sendiri harus tetap dikerjakan dan dikembangkan walaupun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sementara, potensi zakat yang semakin berkembang di masyarakat harus tetap diakomodir dan dikumpulkan. Pelibatan lembaga-lembaga bentukkan masyarakat sebaiknya tetap diakomodasi dan diakui sampai dengan tingkat terendah. Agar peran zakat dalam proses mengentaskan kemiskinan menjadi semakin diakui dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. wallahu ‘alam. (DH)
Tahun 2010 lalu, IMZ melakukan riset tentang peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Hasilnya adalah dari sebanyak 8 lembaga zakat yang dilakukan survey terhadap program-program pemberdayaan masyarakatnya, menunjukkan bahwa zakat mampu mengangkat kelompok miskin sebesar 10,79%. Tren kemampuan zakat mengurangi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat Indonesia semakin mengalami peningkatan. Informasi yang direlease IMZ bulan Agustus 2011 lalu ternyata peran zakat dalam pengentasan kemiskinan angkanya meningkat menjadi 24% lebih.
Islam mewajibkan kepada setiap individu yang hidup dalam kehidupan sosial agar senantiasa berusaha merealisasikan kehidupan yang layak. Setiap individu wajib mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk memiliki taraf hidup yang baik. Agar bisa melindungi diri dan masyarakat sekitarnya dari keganasan kemiskinan. Menurut Prof. Dr. Yusuf Qaradhawy, Islam menawarkan setidaknya 6 strategi penciptaan kondisi ideal pengentasan kemiskinan. Diantaranya,
pertama adalah bekerja. Bekerja adalah senjata pertama dalam memerangi kemiskinan. Bekerja adalah penyebab utama penghasil harta/benda dan unsur utama pula dalam upaya memakmurkan diri dan bumi Allah. Dalam naungan system dan peraturan Islam, tidak ada seorang pekerjapun yang tidak mendapatkan upah dari hasil jerih payah dan keringatnya.
Kedua, Islam secara rinci sangat memperhatikan kelompok-kelompok miskin yang tidak mampu untuk melakukan aktivitas bekerja, seperti janda-janda tua, jompo, dan kelompok-kelompok lainnya. Islam memberikan dan menegaskan bahwa keluarga terdekat mempunyai tanggungjawab utama dalam menanggung beban mereka. Islam dengan tegas mengecam dan mengancam orang-orang yang sengaja memutus tali persaudaraan dan membiarkan saudaranya tenggelam dalam kesusahan. Memberikan nafkah kepada kerabat yang miskin berarti kita telah meletakkan batu pertama dalam bangunan solidaritas sosial.
Ketiga adalah zakat. Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy). Artinya zakat adalah sesuatu yang pasti, tentang kadar dan hitungannya, serta jelas siapa saja yang berhak menerima zakat itu sendiri. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
Keempat adalah pendapatan Negara dari sumber-sumber pengelolaan kekayaan Negara lainnya. Baik yang dikelola sendiri ataupun dikerjasamakandengan pihak lain. Sumber-sumber ekonomi Negara tidak boleh dikelola oleh individu agar seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat merasakan manfaatnya.
Kelima adalah kewajiban-kewajiban lain yang melekat pada diri seorang muslim. Diantaranya adalah; hak bertetangga. Berbuat baik kepada tetangga adalah bukti kesempurnaan iman. Selanjutnya adalah kurban pada hari raya Idul Adha, sanksi pelanggaran sumpah, kaffarat, sanksi hubungan suami istri pada bulan ramadhan, fidyah orang jompo, hady (sumbangan orang yang melaksanakan ibadah haji atau umroh), kewajiban saat panen diluar zakat, terakhir adalah saat zakat tidak mencukupi untuk kebutuhan orang-orang fakir/miskin maka ada kewajiban lain yaitu tanggungan fakir miskin.
Keenam adalah derma karena kesalehan. Derma lebih tergantung kepada keluhuran pribadi dan kedermawanan serta kepedulian orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Tidak mengikat dan kurang memberikan dampak dalam upaya pemerataan distribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan. Apalagi jika orang-orang kaya tersebut hatinya telah membatu dan lemah iman.
Diantara sarana pengentasan kemiskinan diatas, zakat merupakan salah satu potensi terbaik upaya pengentasan orang-orang dari kemiskinan. Konteks zakat sangat menutupi kelemahan-kelemahan strategi distrisbusi harta orang-orang kaya kepada orang-orang miskin serta upaya pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan sarana yang lainnya, tanpa membuat strata diantara masing-masing sarana.
Islam sangat memperhatikan kelompok-kelompok yang tidak mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan standar hidupnya, dimana kelompok lainnya sebenarnya mengetahui dan ada yang mampu namun tidak memberikan bantuan apapun. Allah SWT dengan tegas menetapkan adanya hak dan kewajiban antar 2 kelompok di atas (kaya dan miskin) dalam pemerataan distribusi harta kekayaan, yaitu dengan mekanisme zakat. Zakat dalam Islam secara teoritik adalah kewajiban atau hutang yang dibebankan di pundak orang-orang kaya untuk ditunaikan kepada orang-orang lemah yang berhak. Zakat juga merupakan kewajiban yang jelas dan tegas, telah ditentukan hubungan dan kadarnya. Zakat bukanlah amal baik individual atau sumbangan sukarela. Zakat merupakan hak dan kewajiban. Zakat adalah sebuah sistem yang diciptakan Allah untuk hambanya dalam upaya memberikan jaminan sosial masyarakat.
Seperti halnya siang dan malam, kelapangan rizki untuk sebagian orang juga merupakan sunatullah untuk menciptakan keseimbangan kehidupan sosial manusia itu sendiri. Keseimbangan distribusi nikmat kekayaan menjamin keamanan dan kelestarian harta orang-orang kaya dari kemungkinan-kemungkinan iri dan dengki orang-orang miskin. Sisi lain, adanya jaminan sosial dari harta orang-orang kaya menghilangkan ketakutan-ketakutan akan problema hidup yang mungkin akan dihadapi oleh orang-orang miskin.
Jaminan sosial yang lahir dari hak dan kewajiban zakat menyentuh seluruh masyarakat dalam suatu wilayah kenegeraan. Karena pada akhirnya masyarakat akan terbagi menjadi 2 kelompok saja, yaitu pembayar zakat dan penerima zakat. Kondisi ini memerlukan pengelolaan yang sistemik, agar potensinya sebagai alat pemerataan rizki dari Allah dapat terealisasi.
Konteks pengelolaan zakat di Indonesia adalah sebuah kekhususan. Hukum Islam bukanlah sesuatu yang populer. Pengaturan zakat lahir setelah sejumlah kelompok masyarakat bergerak mengelola zakat di masyarakat. Sehingga peran pemerintah seperti tertinggal beberapa langkah dalam memanej potensi zakat, yang menurut beberapa hasil riset mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari 200 trilyun rupiah.
Menurut Yusuf Qaradhawy, dalam kondisi Negara yang carut marut pengelolaan zakatnya maka akan terlihat beberapa hal sebagai berikut :
Pertama; besarnya potensi hanya menjadi sebuah wacana. Pengumpulan zakat akan minim dibandingkan dengan potensi. Sehingga mengakibatkan kebutuhan fakir miskin dan problema sosial kemasyarakatan tidak akan terselesaikan. Minimnya pengumpulan biasanya disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya lemahnya motivasi keagamaan dan kesadaran keislaman pada mayoritas masyarakatnya. Juga disebabkan karena tidak adanya kepercayaan kepada pengelolanya. Stigma pegawai Negara yang tidak mampu mengemban amanah masyarakat sangat kental melekat di aparatur Negara kita saat ini. Perilaku serakah, tamak dan tidak pernah puas akan apa yang sudah dimiliki mendorong pejabat-pejabat Negara kita sekarang ini menghalalkan apapun yang bukan haknya.
Penyebab lain yang mengurangi minimnya pengumpulan zakat adalah karena telah bergesernya perilaku hidup masyarakat kita secara luas. Gaya hidup glamor, hedonis, dan tidak ingin tersaingi dalam gaya hidup mendorong pemborosan harta yang menyebabkan bagian harta orang miskin yang melekat dalam harta orang-orang kaya habis percuma. Menggerogoti dan menguras potensi (zakat) yang kita miliki untuk hal-hal yang tidak memberikan manfaat bagi agama dan kehidupan.
Kedua; pola pendistribusian cenderung tidak obyektif dan simpang siur. Lemahnya dedikasi, profesionalitas dan keimanan menyebabkan distribusi zakat berpotensi menyimpang. Orang yang berhak menerima dapat saja tidak menerima haknya. Dan orang yang tidak berhak, mendapat bagian yang bukan haknya. Akibat selanjutnya, zakat sendiri tidak akan mampu memenuhi kebutuhan fakir miskin, kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit.
Akibat dari kondisi-kondisi di atas memungkinkan lahirnya kekecewaan dan protes terhadap sistem zakat yang dianggap tidak mampu memperbaiki kondisi kemiskinan. Sikap seperti ini akhirnya dikhawatirkan melahirkan skeptis dan apatis terhadap seluruh sistem dan tata aturan Islam secara umum.
Membangun sebuah sistem pengentasan kemiskinan berbasis zakat tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, Indonesia bukanlah Negara penganut sistem dan hukum Islam. Diperlukan kearifan dalam membangun sinergi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok masyarakat yang concern dalam upaya pengentasan kemiskinan. Negara setidaknya harus mengakui bahwa pengelolaan zakat di Indonesia yang dilakukannya masih jauh dari ideal. Pembangunan sistem pengelolaan zakat yang melibatkan struktur kemasyarakatan yang paling dekat dengan masyarakat itu sendiri harus tetap dikerjakan dan dikembangkan walaupun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sementara, potensi zakat yang semakin berkembang di masyarakat harus tetap diakomodir dan dikumpulkan. Pelibatan lembaga-lembaga bentukkan masyarakat sebaiknya tetap diakomodasi dan diakui sampai dengan tingkat terendah. Agar peran zakat dalam proses mengentaskan kemiskinan menjadi semakin diakui dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. wallahu ‘alam.