MESTINYA BUKAN SI LAKNAT, UMAR bin KHATAB YG JADI KHALIFAH
Oleh: Eri Sudewo
Masjid Nabawi punya menara. Fungsinya ternyata tak hanya untuk mengumandang azan. Melainkan juga untuk memantau kehidupan tetangga masjid.
Siapa nyana. Dibanding Bilal, ternyata Rasulullah saw malah lebih banyak naik ke menara. Untuk apa? Pantau kondisi warga sekitar masjid.
Apa bisa? Ya kita lihat saja. Dari menara Nabi Muhammad saw bisa seksamai mana dapur yang berasap & yang tidak.
Yang tak berasap, sang uswah segera sambangi. Seringkali ajak Fatimah Azahra. Sesekali bawa Ustman bin Affan ra atau Abdurrahman bin Auf ra.
Yang dapur tidak berasap segera dibantu dengan bahan makanan.
Sepeninggal Rasulullah saw, kebiasaan ini berlanjut. Dilakukan para sahabat2 rasul.
Ketika Umar bin Khatab jadi khalifah, di sepertiga malam, dari menara dia heran melihat masih ada dapur yg remang2 menyala.
Dini hari itu di kala warga terlelap, dia hampir dapur tersebut, usai mengucap salam, Umar bertanya: “Ibu sedang masak apa?”
“Saya masak batu. Utk menghibur dua anak ini”, jawab si ibu lugas. Sambil melihat 2 anak tertidur di sampingnya.
“Lho Koq”, Umar terpana.
“Ya jika anak2 bangun dan bertanya sudah masak, saya bilang belum masak nak. Belum empuk. Coba lihat masih keras kan”.
Lantas si ibu melanjut: “Sejak Rasulullah saw dan Abu Bakar wafat, saya kesulitan jadi spt ini. Maka tak pantas Umar bin Khatab menjadi khalifah. Terlaknat dia”. Sumpah si ibu.
Umar terkaget. Segera dia lari ke BM. (Baitul Maal = Rumah Harta). Mengetuk pintu yang dijagai Abu Hurairah ra.
Lantas digendong terigu sekarung. Sesampai di dapur: “Silakan bu. Masak ini tepung”.
Si ibu tentu senang. Pasti anak2 yatimnya tak lagi lapar. Dia ucap beribu2 Terimakasih, sambil bergumam: “Mestinya tuan yg jadi amirul mukminin. Bukan si laknat, Umar bin Khatab, hingga anak2 yatim ini kelaparan.
Air mata Umar tumpah. Dia berlari. Sesampai di masjid Umar sujud. Mohon ampun agar rintihan derita si ibu, tak sampai langit.
Umar baru bangun dari sujud setelah azan Subuh dikumandang Bilal.
Sekarang saya yang schok. Kisah ini jd pukulan.
Ya Allah. Ampuni. Entah apa saja yang telah aku lakukan di lembaga kemanusiaan. Jika banyak keliru, mengapa dulu aku berinisiatif jalankan. Tidak ada yg menyuruh.
Aku pun malu ya Allah. Berkat orang2 miskin, aku telah banyak mendapat penghargaan. Kedudukanku seolah jadi terhormat.
Namun apakah penghargaan itu memang sesuai kebaikan dengan yang telah Engkau perintahkan.
Apakah sangkaan orang padaku memang seindah seperti yang mereka bayangkan. Bahwa aku orang baik, aku amil yg amanah, dan sederet kata2 lain yg penuh pujian.
Hadits pertama yg aku nukil di edisi perdana kampanye: “Bisakah kita tidur nyenyak sementara tetangga kelaparan”, apakah sdh aku jalankan sungguh2 hingga hari ini.
Jangan2 apapun yang aku lakukan, ternyata hanya sawang sinawang. Lebih utk menghimpun dana ziswaf sebanyak2nya.
Jangan2 hanya gebyar kampanye, poles sana sini untuk kemegahan lembaga. Jangan2 hanya untuk cari puja puji. Dan ketika dapat penghargaan, seolah itulah puncak penantian kerja.
Ya Alah. ampuni kami jika dana sebanyak itu hanya sebagian yg sampai pd yg berhak. Ampuni kami jika banyak program hanya mercusuar qbergagah-gagah.
Atas nama mustahik, kami himpun zakat. Entah apa tepat dikatakan itu merampas hak2 orang2 miskin.
Atas nama program, bisa jadi kami abaikan hak2 orang miskin. Yang atas nama fisabilillah kami kurangi jatah mustahik lain.
Dan saat program berhasil, pujian jadi bandul penyemangat. Tak sia2. Hanya ketika program gagal, berlaku lah operasi senyap. Diam2 kami tak lagi usik. Yang otomatis jadi aba2: “Namanya juga pemberdayaan”.
Ya Rabb. Kami tak bisa memutar jarum jam sejarah. Hanya berharap pada-Mu. Bantu kami utk menebus kekeliruan masa silam yang tak bisa kami pulihkan.
Ya Allah. Kami Hanya berharap belas kasih dan rahmat-Mu utk ampuni dosa dan kekeliruan. Dan kami mohon perlindungan-Mu dari seluruh perkara yang masih tersangkut.
Aamiin ya Rabb.
19 Ramadhan 1445 H.