Wacana penyatuan lembaga zakat dalam amandemen UU no. 38 tahun 1999 yang dikembangkan oleh pemerintah menjadi isu menarik di tengah tingginya partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan zakat di Indonesia. Mergerisasi Lembaga Dalam konsep pengelolaan zakat yang disodorkan oleh pemerintah, hanya akan dikenal satu lembaga yang melakukan tugas pengelolaan dan pemberdayaan dana zakat. Sementara lembaga zakat lain yang selama ini ada, diposisikan sebatas pengumpul dana semata. Dengan posisi ini lembaga zakat bentukan masyarakat sipil akan diposisikan sebagai sub-ordinasi dari lembaga zakat pemerintah tersebut. Sifat swasembada dan swadaya lembaga zakat masyarakat yang selama ini terintegral dalam diri lembaga tersebut pun dapat hilang menguap begitu saja. Satu lembaga, satu pintu, dan satu atap menjadi prinsip yang dikedepankan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama sebagai pihak pengusung wacana tersebut. Mekanisme yang dijalankan kembali kepada sistem sentralistik, di mana pemerintah menjadi omnipoten (maha kuasa) dan omnipresent (hadir di mana-mana). Ada beberapa argumentasi yang menguatkan wacana pemerintah mengenai penyatuan manajemen zakat. Pertama dari aspek historis yang memandang pemerintah sebagai aktor tunggal pengelolaan zakat di Indonesia. Hal yang melandasi argumentasi ini adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama nomor 4 tahun 1968 mengenai pembentukan BAZ oleh negara di tingkat kelurahan dan desa. Meski kemudian peraturan Menag ini ditangguhkan melalui Instruksi Menag nomor 1 tahun 1969, konsep pengelolaan zakat semacam ini tetap menjadi keinginan pemerintah untuk diwujudkan. Aspek kedua adalah efektifitas penghimpunan dan pendayagunaan. Zakat, yang oleh banyak cendikia dan praktisi dipandang sebagai instrumen sosio-ekonomi dari “yang memiliki” untuk diberikan kepada “yang kurang memiliki”, membutuhkan kekuasaan dan kewenangan yang besar untuk dapat mengumpulkan dan menyalurkannya secara merata kepada yang berhak. Aktor yang memiliki kekuasaan yang cukup kuat dan dibekali alat penegak hukum tentu hanyalah pemerintah. Sementara sisi lain adalah kewajiban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan pemenuhan hak dasar masyarakatnya. Dan zakat adalah salah satu instrumen kapital yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mewujudkan tujuan tersebut. Kemudian hal ketiga, dengan diakomodirnya peran masyarakat untuk berpartisipasi aktif mengembangkan dunia zakat melalui pasal 7 UU no. 38 tahun 1999, membuat lembaga zakat tumbuh bak jamur di musim hujan. Hal ini dipandang sebagai kondisi yang kurang sehat bagi pendukung argumen sentralisasi pengelolaan zakat karena menyebabkan lembaga zakat yang ada saling berkompetisi dan inkoordinatif dalam menjalankan tugas dan perannya. Maka dari itu dibutuhkan satu lembaga yang kuat dan memiliki rentang organisasi panjang hingga tingkat terbawah untuk menjamin penghimpunan, penyaluran, dan pendayagunaan dana zakat dapat dioptimalkan secara paripurna. Pengelolaan yang Partisipatif Konsep penyatuan lembaga zakat yang disponsori oleh Departemen Agama tentu menjadi dialektika menarik di tengah proses penerapan good governance di Indonesia, di mana semangat yang terkandung di dalamnya adalah akuntabilitas, transparansi dan partisipatif dari lembaga negara yang ada. Sekarang pertanyaannya, apakah dengan penyatuan lembaga zakat pada satu atap tidak membatasi ruang partisipasi publik dalam pengelolaan zakat? Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh IRE (2003), partisipasi masyarakat dalam konteks kebijakan dan kelembagaan ‘state vis a vis society’ memang menjadi polemik tersendiri. Partisipasi lebih dimaknai sebatas pemosisian masyarakat sebagai ‘pelaksana’ program yang telah disusun oleh pemerintah. Sementara Lukman Soetrisno (2003) mengemukakan bahwa definisi partisipasi di benak aparat pemerintah sendiri adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Masyarakat diposisikan inferior dan sub-ordinasi dari pemerintah. Kembali pada konteks kelembagaan zakat, wacana Depag yang akan menjadikan lembaga zakat prakarsa masyarakat sipil sebatas unit pengumpul zakat (UPZ) adalah salah satu bentuk pemasungan partisipasi masyarakat, baik secara politik kebijakan maupun sosial-kemasyarakatan. Fungsi dan peran otonom lembaga zakat yang selama ini dimiliki dalam merancang dan mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui dana zakat yang dikelola akan dipangkas. Counter-Issue Mari kita tengok aspek sejarah. Pengelolaan zakat di Indonesia pada awalnya bukanlah negara yang memiliki peran. Justru pengelolaan yang berbasis masyarakat telah jauh dilakukan bahkan sebelum republik ini terbentuk. Zakat yang dikelola oleh masjid, pesantren, kyai, hingga komunitas perkumpulan telah melakukan dan mengembangkan hal tersebut. Akan menjadi persoalan tersendiri mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa menyalurkan melalui lembaga zakat berbasis masyarakat lalu diarahkan secara paksa pada satu lembaga saja. Dan dalam dunia zakat, tidak bisa dipungkiri preferensi masyarakat Indonesia dalam memilih organisasi atau lembaga zakat lebih banyak disandarkan pada unsur subyektifitas dan kedekatan psikologis ketimbang pertimbangan teologis atau legal-formal. Sementara soal lembaga zakat yang banyak dan inkoordinatif, penyatuan lembaga justru kontradiktif dengan kiprah dan kinerja lembaga zakat masyarakat sipil yang prestatif, baik dalam kegiatan penghimpunan, program pemberdayaan, maupun aksi kemanusiaan. Keunggulan utama lembaga zakat yang mencakup kecepatan, keleluasaan, dan kreativitas dalam melakukan aksi kegiatan bisa hilang. Posisi sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari badan zakat yang dibentuk pemerintah hanya mengizinkan untuk melakukan kegiatan penghimpunan, tidak pada pendistribusian dan pemberdayaan. Di sini fungsi dan peran masyarakat untuk berpartisipasi menjadi terpasung. Maka, wacana penyatuan lembaga zakat patut dipikirkan kembali masak-masak. Pertama karena tidak sesuai dengan fakta sejarah sosio-kultur masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa menyalurkannya melalui lembaga, organisasi, maupun basis-basis masyarakat sipil. Kedua memotong akses masyarakat dalam berpartisipasi aktif pada pengembangan masyarakat melalui pengelolaan dana zakat yang dikelola secara mandiri. Dan ketiga bertentangan dengan nurani demokrasi serta prinsip good governance, yang ironisnya prinsip ini menjadi keinginan kuat presiden untuk lebih dikembangkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ditulis oleh: Arif R. Haryono Peneliti pada Indonesia Magnificence of Zakat]]>