Nashih Nasrullah Diharapkan, pemerintah tak mengambil langkah mundur. JAKARTA – Pemerintah belum bisa mengakomodasi usulan zakat sebagai pengurang pajak yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Zakat, Infak, dan Sedekah sebagai revisi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Hal ini disampaikan Staf Ahli Menteri Agama, Tulus Sastro-wijoyo, di Jakarta, Ahad (20/3). Zakat sebagai pengurang pajak dan posisi badan amil zakat (BAZ) serta lembaga amil rakat (LAZ) merupakan pasal yang dianggap krusial dalam rancangan tersebut. Tulus mengatakan, dalam konteks ini pemerintah sejalan dengan DPR bahwa secara teknis pasal soal zakat pengurang pajak mesti disesuaikan dengan undang-undang lain. Selain itu, pembahasan mengenai persoalan terebut perlu dikomunikasikan secara intens dengan pihak terkait. Di antaranya, dengan Kementerian Keuangan. “Pasal itu belum bisa diakomodasi, tetapi pada prinsipnya saya mendukung,” kata Tulus. Menurut dia, nantinya BAZ maupun LAZ dikoordinasikan dalam satu kesatuan sistem. Langkah ini dipandang perlu karena lembaga-lembaga pengelola zakat yang ada sekarang terkesan berjalan masing-masing tanpa koordinasi. Melalui satu kesatuan sistem, akan ada sinergi antarlembaga, baik dalam pelaporan maupun koordinasi. Dalam hal ini, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berperan sebagai pembina. Dalam satu kesatuan sistem itu, tutur Tulus, diatur pula mekanisme perizinan. Dalam Undang-Undang No-mor 38 Tahun 1999, pemerintah hanya mempunyai wewenang mengukuhkan lembaga pengelola zakat. Namun, dalam rancangan yang baru, pemerintah tak hanya mengukuhkan, tapi berwenang memberikan izin. Selama memenuhi syarat, seperti adanya instrumen audit syariah dan dewan syariah, izin akan mudah diperoleh. “Dengan demikian, tidak sembarang lembaga atau individu bisa mendirikan lembaga amil zakat. Mereka harus memenuhi syarat yang berlaku terlebih dulu baru mendapatkan izin,” ungkap Tulus. Peran itu, papar Tulus, tidak akan membatasi keberadaan lembaga amil zakat, tetapi sebagai usaha untuk menertibkan. Saat ini, pemerintah tidak bisa membubarkan lembaga amil zakat yang melakukan pelanggaran, tetapi dalam rancanagan undang-undang yang baru diusulkan agar sebuah lembaga amil zakat bisa dibubarkan jika terbukti melanggar. Pembatasan Ketua Umum Forum Zakat (FOZ), Ahmad Juwaini, khawatir undang-undang zakat yang baru kelak mengalami kemunduran. Ia melihat beberapa poin dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah justru merupakan langkah mundur dalam pengelolaan zakat. Menurut dia, pidato presiden beberapa waktu lalu juga mengindikasikan bahwa keinginan agar zakat sebagai pengurang pajak tak bisa terwujud. Ia mengatakan, pada intinya pidato tersebut menekankan bahwa selama ini pengelolaan zakat telah berjalan dengan baik. Tak perlu perubahan lebih jauh. Di samping itu, ada sinyal upaya pembatasan dan mempersulit LAZ. Sebab, dalam DIM, dinyatakan bahwa LAZ harus dikukuhkan oleh Baznas. Garis koordinasi LAZ juga ada di bawah Baznas sehingga memosisikan LAZ sebagai subordinasi. Idealnya bukan Baznas, melainkan badan independen yang dibentuk negara. Meski, Juwaini sepakat dengan pemikiran pemerintah untuk menertibkan keberadaan lembaga pengelola zakat. “Kami ingin aturan baru soal pengelolaan zakat lebih baik bukannya malah mundur,” katanya. Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis, mengatakan pemerintah telah menyerahkan DIM kepada DPR. Pekan ini, ada jadwal pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Dalam pembahasan akan dibandingkan antara DIM pemerintah dan rancangan yang ditawarkan DPR. Pada prinsipnya, pemerintah menginginkan pengelolaan zakat di bawah Kementerian Agama termasuk keberadaan lembaga amil zakat. Iskan memandang, konsep ini bertentangan dengan undang-undang mengenai otonomi daerah dan sistem negara modern yang melibatkan masyarakat secara aktif, termasuk dalam hal pengelolaan zakat.
Sumber : rol.republika.co.id
]]>