JAKARTA – Pemerintah tak perlu merasa khawatir zakat sebagai pengurang pajak akan berpengaruh pada pendapatan pajak. Justru jika kelak kebijakan itu bisa terlaksana akan membantu meningkatkan perolehan pajak. Sebab, muzaki atau perusahaan yang membayar zakat diketahui secara pasti jumlah pendapatan per tahunnya.
“Sebab, tak ada unsur berbohong dalam membayar zakat,” kata Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa, Ahmad Juwaini, di sela-sela sebuah diskusi mengenai pemberdayaan zakat untuk kesejahteraan umat di Jakarta, Jumat (27/8). Lembaga pengelola zakat terus mendorong pemerintah bersedia memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak.
Mereka pun mengharapkan agar revisi Undang-Undang Pengelolaan Zakat segera bisa disahkan untuk membantu mengoptimalkan penggalangan dan pengelolaan zakat. Juwaini menyatakan, Indonesia bisa belajar dari Malaysia yang telah sejak 2003 memberlakukan kebijakan zakat pengurang pajak.
Setelah lima tahun Malaysia menjalankan kebijakan tersebut, jelas Juwaini, menunjukkan terjadinya peningkatan penerimaan zakat dan pajak. Untuk mewujudkan hal ini di Indonesia, butuh lobi dan langkah menyatukan dukungan. “Kami berharap pada 2014 wacana zakat pengurang pajak sudah menjadi kebijakan dan diaplikasikan.”
Juwaini menyatakan, untuk menghindari penyimpangan pengelolaan zakat, perlu ada standardisasi. Terutama lembaga zakat manakah yang pantas mendapatkan wewenang melakukan pengelolaan. Menurut dia, untuk mengoptimalkan pemberdayaan zakat ada dua hal yang harus menjadi perhatian.
Pertama, muzaki harus selektif membayarkan zakatnya. Mereka perlu didorong untuk membayar zakat kepada lembaga pengelola zakat yang terpercaya. Lembaga pengelola zakat juga mesti terus berinovasi dan berkreasi dalam membuat program. Dari sisi mustahik, mereka dituntut menggunakan dana zakat sebagai mestinya.
Direktur Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Teten Kustiawan, menegaskan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak tak akan berpengaruh pada penghasilan pajak negara. Jika membandingkan pajak yang menyumbangkan lebih dari Rp 600 triliun per tahun ke APBN dengan potensi zakat yang baru Rp 89 triliun, maka itu belum seberapa.
Pengalaman di sejumlah negara menguatkan hal itu. Justru dengan kebijakan tersebut, perolehan pajak dan zakat meningkat secara bersamaan. Tak hanya itu, zakat dan pajak bisa bersinergi, baik dalam hal pemanfaatan dana maupun data. Ia pun mendorong kreativitas dan sinergi antarlembaga dalam pemberdayaan zakat.
Teten mengakui, masih ada kendala yang harus dihadapi lembaga pengelola zakat saat ini. Kendala tersebut adalah sosialisasi dan edukasi zakat yang belum masif dan kontinyu. cr1, ed: ferry kisihandi
Sumber : www.republika.co.id