Revisi UU no 38 tahun 1999 sebagai landasan hukum pengelolaan zakat menjadi agenda mendesak bagi perkembangan dunia zakat di Indonesia. UU itu dinilai memiliki banyak kelemahan. Dari segi kelengkapan, belum ada peraturan pemerintah yang organik bagi undang-undang tersebut. Berkaca pada perkembangan yang dicapai BAZDA dan BAZNAS, yang merupakan lembaga pemerintah sendiri misalnya, lebih ditentukan faktor inisiatif dan kreatifitas BAZ serta dukungan pemerintah daerah. “Bukan merupakan perkembagan dan kemajuan yang diciptakan, by design, melalui regulasi,” jelas KH. Didi Hafidhuddin, dalam kesempatan rapat dengar pendapat umum BAZNAS dengan komisi VIII, Selasa (4/5) lalu.
Kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak yang diharapkan menjadi stimulus masyarakat giat berzakat pun belum memberikan dampak signifikan. Salah satu indikasinya, penerimaan pajak tidak tumbuh seiring pertumbuhan pajak.
Namun harus diakui terdapat peningkatan cukup signifikan dari perolehan filantropi Islam. Berdasarkan hasil penelitian, tercatat perolehan sebesar Rp. 1, 2 triliun pada tahun 2009, meningkat jauh jika dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya mencapai Rp. 400 miliar. Di sisi lain, angka perolehan 2009 juga menunjukan belum maksimalnya pengumpulan dana zakat, mengingat gap yang masih besar dengan potensi zakat yang sebesar 19, 3 triliun.
Hal itu salah satunya disebabkan peran Negara yang masih lemah. Menurut KH. Didi Hafidhuddin, peran itu perlu diperkuat dalam upaya mendorong dan memfasilitasi pengelolaan zakat. Agar UU Pengelolaan Zakat dapat menghasilkan perubahan besar, revisi UU perlu menyentuh dimensi persoalan fundamental.
BAZNAS berpandangan pengelolaan zakat perlu dilakukan terintegrasi secara nasional, dengan tetap terdesentralisasi di tempat di mana zakat terkumpul. “Sesuai dengan tabia,” ujar, KH Didin Hafidhudin, yang merupakan Ketua Umum BAZNAS. Eksistensi BAZ dan LAZ juga perlu dipertahankan, karena selama ini keduanya dianggap telah berperan penting dalam masyarakat. Permasalahan yang muncul dengan dikotomi BAZ dan LAZ adalah masalah koordinasi yang kurang baik. Sebagai solusinya BAZNAS mengusulkan dibentuknya Badan Zakat Indonesia (BZI) sebagai lembaga di luar BAZ dan LAZ untuk memperkuat fungsi regulasi, pengawasan kordinasi antara BAZ dan LAZ.