Kritik terhadap implementasi UU 38/1999 adalah terjadinya krisis kepercayaan (distrust) kepada pemerintah dalam proses pengelolaan zakat, mulai dari tingkat pengumpulan hingga pendistribusian. Untuk itu harus dilakukan upaya solutif demi terbangunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam pengelolaan zakat.
Memfokuskan proses dan prosedur pengelolaan zakat pada asas kemandirian, asas kepercayaan dan asas kemanfaatan. Dengan memberikan porsi besar dan tanggungjawab kepada pihak masyarakat (LAZ) terkait pengelolaan zakat diharapkan prinsip-prinsip tersebut dapat terbangun dengan baik.
Untuk menanamkan asas kemandirian, maka Pemerintah yang dalam hal ini direpresentasi oleh Badan Amil Zakat/BAZ (yang dalam RUU Pengelolaan Zakat disebut sebagai Badan Pengelola Zakat/BPZ) semestinya berposisi sebatas regulator (pengatur), sementara berbagai teknis operasionalnya diserahkan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah diakreditasi oleh BPZ. Pada posisi ini, masyarakat membayar zakat, masyarakat yang mengelola dan menyalurkan, serta masyarakat pula yang mengawasi. Ini menjadi semacam terapi bagi munculnya kepercayaan muzakki (pembayar zakat) dalam menyalurkan zakatnya sekaligus sebagai upaya menanamkan asas kemandirian masyarakat tersebut.
Terdapat kecenderungan yang akan mengarahkan peran pemerintah (BPZ) sebagai distributor, sementara pihak swasta/masyarakat (LAZ) diposisikan sebagai agen pengumpul saja. Pola seperti ini kurang tepat dan bukanlah solusi tepat menanggulangi problem pengelolaan zakat. Di satu sisi, pola tersebut dengan sendirinya bertentangan dengan ”tradisi” penyaluran zakat yang selama ini dikelola oleh masyarakat ditingkat pedesaan yang biasa berada dibawah koordinasi ulama, tokoh masyarakat maupun kiai. Di sisi lain, munculnya kesenjangan dan kesalahpahaman antara pemerintah dengan lembaga amil yang dikelola oleh swasta (NU, Muhammadiyah maupun Persis) yang selama ini menjadi pengumpul sekaligus penyalur zakat. Karena itu, opsi pentingnya adalah bahwa RUU ini tidak boleh menafikan peran strategis LAZ dalam menyalurkan hasil-hasil zakat dan semestinya menyerahkan sepenuhnya teknis operasional kepada pihak swasta. Pemerintah hanya memberikan arahan operasional ri tingkat regulasi.
Selain kelemahan di tingkat kepercayaan, terjadi tumpang-tindih (overlapping) pendustribusian zakat di masyarakat. Hal ini harus disadari sebagai akibat dari kurangnya koordinasi intensif, baik antar BAZ di pusat dan daerah, antar LAZ di tengah masyarakat, maupun antara BAZ dan LAZ. Karenanya, RUU ini semestinya membahas pula mengenai upaya koordinasi yang baik agar dapat menanggulangi jumbuhnya pendistribusian zakat.
Demikian rilis saya, semoga menjadi informasi dan pemikiran yang bermanfaat bagi masyarakat. Atas kerjasamanya disampaikan ucapan terimakasih.]]>