Seperti sebuah judul tulisannya, untaian kalimat Mas Eri –demikian Eri Sudewo, penulis buku ini, akrab disapa– acapkali membuat kita keselek (tersedak). Misalnya, bagaimana di negeri Muslim terbesar di dunia ini, soal zakat sempat tidak populer. Bahkan di mata pemerintah yang mestinya paling bertanggung jawab sekalipun. Ketika ada yang mencoba tulus memikirkannya, malah dikatai “sok suci”. Namun ketika kemudian perkembangan zakat “menjanjikan”, banyak orang atau pihak yang tiba-tiba ingin menjadi pahlawan (kesiangan).
Meski terasa pedas, kritik Eri niscaya tidak membuat sakit hati. Paling-paling memerahkan telinga. Bahkan, bila hati dan pikiran terbuka, akan tersenyum kecut atau meringis, menertawakan wajah kita sendiri.
Memang, sebagai seorang berlatar wartawan, penulis piawai mempraktikkan politik tulisan “riding the wave”. Mulanya, ia ikuti dulu arus besar pemikiran atau budaya yang berkembang. Namun tak sampai larut, di tengah jalan tiba-tiba ia mengajak berbelok. Kita pun dibuat keselek jadinya. Ujung-ujungnya, itu tadi, tersenyum kecut atau meringis.
Bahasa penulis yang “gaul”, makin memperkuat resonansinya. Membuat setiap tulisan Eri bagai jam weker yang menggugah untuk bangun.
]]>