Ciputat, 12 September 2011
Tax exemption (pengecualian/pembebasan pajak) adalah pemberian fasilitas perpajakan berupa pengecualian pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak. Meski organisasi nirlaba dikenal sebagai tax exempt organization atau organisasi bebas pajak, namun organisasi ini tidak memiliki kekebalan terhadap kewajiban membayar pajak. Seperti negara-negara lainnya, Indonesia tidak memberikan pengecualian kepada organisasi nirlaba maupun para pegiat/pekerjanya sebagai wajib pajak. Pemerintah hanya memberikan faasilitas pengecualian sebagai objek pajak pada penghasilan yang didapat oleh organisasi nirlaba dalam bentuk hibah, sumbangan, maupun warisan.
Kebijakan pemberian insentif pengecualian pajak (tax exemption) bagi penghasilan organisasi yang berasal dari bantuan dan sumbangan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat 3 huruf a.1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah “Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
Dengan kebijakan ini, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang dalam beberapa tahun terakhir mempersempit pembebasan/pengecualian pajak penghasilan bagi organisasi nirlaba. Pada 1993 Indonesia pernah memberlakukan kebijakan pembebasan pajak terbatas lewat UU No7/1993 bagi yayasan yang mendedikasikan program dan kegiatannya untuk kepentingan umum. Kebijakan itu tertuang dalam UU No7/1993 Pasal 4 ayat 3 huruf i yang berbunyi “penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum” dan huruf j “penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum” tidak termasuk sebagai objek pajak.
Namun, undang-undang itu diubah pada 1994 melalui pemberlakuan UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam UU tersebut kebijakan pengecualian objek pajak kepada penghasilan yayasan dari usaha dan dari modal sepanjang digunakan untuk kepentingan umum tak lagi diatur atau dihapuskan. Namun, Undang-undang tersebut masih memasukkan dividen yang diterima oleh yayasan tidak dianggap sebagai penghasilan sehingga dibebaskan dari objek pajak. Dalam Undang-undang pajak yang terakhir (UU No.17/2000) pengecualian itu dipersempit, hanya untuk penghasilan yang berasal dari dana bantuan, hibah dan hadiah, dan warisan.
Di negara-negara lain, pemberian insentif berupa pengecualian pajak bagi organisasi nirlaba umumnya diatur secara terperinci. Hal ini dikarenakan kebijakan ini tidak hanya mencakup sumbangan dan hadiah, namun juga meliputi penghasilan lainnya yang dimiliki organisasi nirlaba, baik yang didapat dari penghasilan pasif maupun penghasilan hasil usaha. Selain itu, kebijakan pengecualian pajak ini juga dikaitkan dengan kebijakan pengurangan pajak yang diberikan kepada donatur. Namun, kebijakan ini tidak diatur di Indonesia. Undang-undang perpajakan hanya menentukan kebijakan umum bahwa hibah, bantuan dan sumbangan bukan merupakan objek pajak. Selain karena pemberian pengecualian pajak terbatas pada sumbangan dan hadiah, sumbangan yang diberikan juga tidak bisa secara otomatis menjadi pengurang penghasilan kena pajak bagi donaturnya.
Insentif Pajak bagi Penyumbang
Kebijakan pemberian insentif perpajakan bagi penyumbang organisasi nirlaba di berbagai negara umumnya diberikan dalam bentuk pemotongan pajak, baik dalam skema tax deduction maupun tax credit. Negara memberikan pemotongan atau pengurangan terhadap penghasilan kena pajak yang didapatkan oleh wajib pajak individu, perusahaan atau lembaga yang memberikan hibah, sumbangan atau warisan pada lembaga yang memenuhi syarat. Kebijakan pemberian insentif berupa pemotongan/pengurangan pajak ini umumnya dikaitkan dengan pemberian fasilitas tax exemption terhadap sumbangan yang diberikan.
Dengan kata lain, donatur tidak mendapatkan insentif terhadap sumbangan atau hibah yang diberikannya. Pemerintah hanya memberikan insintif berupa pengurangan terhadap penghasilan kena pajak bagi individu yang memberikan sumbangan dalam bentuk zakat. Namun, pemerintah hanya memberikan fasilitas tersebut pada individu atau pribadi pemeluk agama Islam dan/atau wajib pajak badan yang dimiliki oleh umat Islam. Pemerintah juga mensyaratkan bahwa pemberian fasilitas itu berlaku bila wajib pajak memberikan zakatnya kepada badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Tidak komprehensifnya pengaturan mengenai insentif pajak berupa pengurangan pajak bagi donatur mengakibatkan pemerintah sering mengambil tindakan ad-hoc dalam menetapkan kebijakan tersebut. Pemerintah lebih sering menetapkan kebijakan semacam ini, terutama pada saat terjadi bencana besar dan berskala nasional. Misalnya, pada saat penanganan bencana alam Tsunami di Aceh dan Nias pada akhir 2004. Menteri keuangan pada saat itu mengeluarkan peraturan No. 609/04 yang menyatakan bahwa donasi bagi bencana alam di Aceh dapat menjadi pengurang pajak penghasilan bagi para donaturnya. Walaupun demikian, paling tidak dari kebijakan tersebut dapat dilihat juga bahwa pemerintah sebenarnya menyadari bahwa insentif pajak bagi donatur adalah penting dan dapat meningkatkan gairah kedermawanan para donatur pribadi maupun perusahaan untuk semakin banyak menyumbang bagi sektor sosial.
Disarikan dari buku: Kebijakan Insentif Perpajakan untuk Organisasi Nirlaba, penulis: Hamid Abidin, dkk, halaman: 85-89.
Sumber : keuanganlsm.com
]]>