Letaknya yang berada di ketinggian, jauh dari hingar-bingar kota besar tidak berarti membuat desa ini jauh dari aktifitas filantropi dan kedermawanan. Sebaliknya, nama desa ini telah menasional berkaitan dengan aktifitas zakat masyarakatnya. Betapa tidak. Dengan dana zakat yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat melalui bazis desa, mereka mampu meringankan banyak penderitaan warga desa yang terhimpit kemiskinan. Desa ini telah sejak lama menjadikan zakat sebagai jaring pengaman sosial yang menjadi jaminan bagi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar kaum miskin. Mereka telah memulainya sejak awal dekade 80-an yang lalu ketika sebagian besar desa-desa di Indonesia masih banyak yang terbelit kemiskinan dan belum menemukan solusi. Yah, siapa yang tidak kenal desa ini. Desa Kepakisan. Desa zakat di kawasan dataran tinggi Dieng. Begitu memasuki desa, tidak ada kesan seperti yang biasanya dibayangkan orang ketika mengunjungi sebuah desa. Jauh dari kesan kumuh, rumah-rumah permanen berdiri tegak dan berjejer dengan rapi. Jalan-jalan setapak di dalam desa telah diberi pengerasan sehingga betapapun lebat hujan mengguyur, becek dan lumpur urung mengotori jalan. Orang luar akan dengan mudah memberi penilaian bahwa desa ini adalah desa makmur. Sepintas kenyataan ini terdengar bertolak belakang dengan kenyataan mengingat letak desa yang jauh dari kota dan penghasilan warganya yang bergantung sepenuhnya pada pertanian. Namun memang begitulah faktanya. Saat ini Desa Kepakisan merupakan desa makmur, sekurang-kurangnya menurut pengakuan dan apa yang dirasakan oleh mereka sendiri. Kemakmuran itu tidak singgah dengan sendirinya. Setidaknya kalangan tua di desa sangat paham itu. Mereka telah mengalami pasang-surut dan timbul-tenggelamnya kehidupan di desa. Seumpama alat perekam, ingatan mereka masih menyimpan dengan jelas betapa perubahan bergulir di depan mereka seperti air dari gunung. Kondisi fisik desa, kondisi ekonomi para warga, ritme kerja, aktifitas sosial, merupakan sederet hal yang mengalami perubahan. Mereka bersyukur perubahan yang terjadi ternyata lebih banyak ke arah positif, ke arah perbaikan, ke arah kemakmuran. Dan di balik kemakmuran Desa Kepakisan, siapa sangka zakat telah menjadi salah satu faktor menentukan. Berkah Kentang Sejak dekade 80-an, tepatnya sekitar tahun 1983, masyarakat di sekitar Dataran Tinggi Dieng mulai mengusahakan tanaman sayur-mayur dan beralih dari tanaman tembakau yang semula menjadi komoditas utama petani daerah ini. Saat ini, komoditas utama yang diusahakan masyarakat yakni berupa kentang, kubis, dan beberapa jenis sayuran lain seperti sawi, cabai, tomat, dan sebagainya. Jagung masih ditanam sebagai tambahan terutama untuk pakan ternak namun ditanam dalam sekala yang lebih kecil. Kentang masuk ke Desa Kepakisan bersamaan dengan demam kentang yang merambah seluruh kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut keterangan yang diberikan penduduk terutama dari kalangan tua, inisiatif paling awal dan respon terhadap perubahan ini dilakukan oleh kepala desa mereka yang ketika itu memang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat desa. Pak Soepojo Raharjo, kepala desa yang mempunyai lahan pertanian luas termasuk salah satu pionir. Transfer pengetahuan mengenai budidaya tanaman kentang ini diperoleh dari para petani Pengalengan. Dalam perjalanannya, kentang sebagai komoditas pertanian yang diusahakan petani ternyata mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan tembakau. Selain itu, proses produksi yang dilakukan juga lebih sederhana dan tidak terlalu menyita waktu dan tenaga. Pengelolaan kentang, sebagaimana tanaman sayuran lainnya, relatif tidak merepotkan terutama terkait dengan proses paska panen. Berbeda dengan tembakau yang proses ketika panen masih membutuhkan pengolahan yang cukup rumit yang menyita waktu. Sebagai catatan, jenis tembakau yang dulu ditanam masyarakat petani Dieng merupakan tembakau daun yang dalam pengerjaannya membutuhkan pengolahan secara khusus yakni dikeringkan dengan cara dibakar. Dalam pengerjaannya itu, tidak jarang terjadi kebakaran sebab pengerjaannya dilakukan di areal yang berdekatan dengan rumah tempat tinggal. Kondisi ekonomi warga Desa Kepakisan ketika masih bergantung pada tanaman tembakau sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan pertama, tanaman tembakau sebagai komoditas utama yang menjadi tempat bergantungnya perekonomian penduduk hanya dapat dipanen sebanyak satu kali dalam setahun. Kondisi ini lebih diperparah oleh kenyataan bahwa modal pengusahaan tanaman tembakau diperoleh dari dana pinjaman pada tengkulak. Hasil panen mereka serahkan pada tengkulak dengan harga jual yang rendah. Kedua, dari segi pengelolaan, tanaman tembakau membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra sehingga petani tidak dapat menyisihkan waktu mereka untuk mengerjakan aktifitas produktif lainnya. Paling-paling petani hanya dapat mengerjakan tanaman lainnya seperti jagung yang diusahakan secara sambilan. “Era tembakau” diakui penduduk sebagai masa-masa sulit bagi mereka. Dengan kondisnya yang seperti itu, tidak mengherankan bahwa dulu Kepakisan dikenal sebagai salah satu desa termiskin yang berada di kawasan kecamatan Batur. Pendapatan masyarakat sangat rendah, standar hidup memprihatinkan, dan kondisi fisik desa yang juga tidak baik merupakan ciri dari kehidupan di Desa Kepakisan pada era sulit itu. Ini dibenarkan oleh salah seorang sesepuh desa yang telah mengalami sendiri kehidupan sulit di masa lalu dan turut merasakan betapa perubahan komoditas yang ditanam petani sangat menentukan kondisi perekonomian di desanya. Menurutnya, dulu ketika masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada tembakau, mayoritas rumah-rumah warga dibuat menggunakan anyaman bambu, saat ini sebagian besar rumah warga telah permanen dan sangat layak. Jalan-jalan kampung kini terlihat rapi dengan pengerasan semen dan koneblock. Sebagian besar fasilitas desa seperti jalan, masjid, musholla dibangun dengan dana swadaya masyarakat desa. Secara sosial, dampak yang ditimbulkan oleh adanya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat desa juga dirasakan sangat berpengaruh. Dahulu, dengan pola kerja dan pengolahan tembakau yang sangat menyita waktu dan tenaga, praktis hampir sebagian besar waktu petani terpakai di ladang dan di rumah untuk mengolah tembakau. Waktu luang sangat sedikit. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat ketika kentang masuk dan menjadi mata pencaharian utama penduduk Desa Kepakisan. Dengan nilai ekonomis yang jauh lebih menguntungkan, proses pengerjaan yang relatif lebih mudah dan sederhana, serta masa panen yang setahun bisa mencapai tiga kali membuat petani beralih pada kentang sebagai komoditas utama menggantikan tembakau. Rahasia Sukses Zakat Kepakisan Membaiknya perekonomian warga Desa Kepakisan berkat tanaman kentang ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri berkenaan dengan aktifitas berzakat warga desa. Pasalnya, kentang sebagai komoditas utama warga desa dianggap sebagai hasil pertanian yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sesuai pemahaman mayoritas penduduk desa ketika itu, hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya hanyalah hasil-hasil pertanian yang merupakan tanaman pokok seperti padi dan jagung. Sementara kentang dianggap masuk dalam kategori sayur-mayur dan bukan merupakan makanan pokok. Awal tahun 80-an pada masa awal kejayaan kentang di Kepakisan, praktis zakat ditinggalkan dan hanya dikeluarkan dalam skala kecil dari hasil tanaman jagung yang hanya diusahakan penduduk sebagai sampingan. Kondisi seperti ini menimbulkan keprihatinan Kepala Desa Kepakisan ketika itu, Soepojo Raharjo, yang sekaligus juga merupakan tokoh agama desa. Keprihatinan itu didasari oleh sebuah ironi yakni mengapa pada saat kondisi perekonomian warga sedang baik mereka malah meninggalkan kewajiban berzakat. Pak Pojo menilai bahwa seharusnya masyarakat desa tidak meninggalkan zakat yang sudah dijalankan sejak dulu. Sang lurah yang sekaligus juga kyai itu tetap berkeyakinan bahwa zakat penghasilan dari hasil pertanian kentang tetap harus dikeluarkan. Melalui serangkaian kajian dan studi tentang pengelolaan zakat di berbagai tempat, termasuk di antaranya melihat secara langsung keberhasilan pengelolaan zakat di Desa Putukrejo, Malang, Pak Pojo ketika itu memperoleh beberapa kesimpulan yang diterjemahkan ke dalam strategi penting yang nantinya menjadi tonggak sukses pengelolaan zakat di Desa Kepakisan. Pertama terkait dengan interpretasi fiqih zakat pertanian. Pak Pojo menilai bahwa semua jenis tanaman baik yang merambat maupun yang tidak merambat wajib dikeluarkan zakatnya. Beliau berkeyakinan bahwa warga Desa Kepakisan tidak perlu meninggalkan zakat pertanian meski dari hasil tanaman kentang yang digolongkan ke dalam kategori tanaman sayur-mayur. Kedua, dakwah dan edukasi mengenai pentingnya berzakat. Pada fase awal ketika zakat di Desa Kepakisan sedang dirintis, proses dakwah dan edukasi mengenai zakat ini menjadi senjata utama untuk membangkitkan kesadaran masyarakat. Ketika itu, hampir pada semua kesempatan selalu ada saja ruang untuk membicarakan zakat. Pada pertemuan-pertemuan formal di kantor desa, di mimbar khutbah Jum’at, di lahan pertanian kentang, di forum-forum pertemuan warga, di mana saja. Selalu saja ada waktu untuk membahas isu dan kewajiban berzakat. Meniru apa yang dikatakan warga, pokoknya tidak ada waktu tanpa membicarakan soal zakat. Dan ternyata inilah kuncinya, apa yang direncanakan oleh lurah Pojo ketika itu ternyata merupakan strategi untuk mendekatkan warga dengan zakat. Membuat mereka terbiasa dengan kehadirannya. Strategi berikutnya yang tidak dapat dipisahkan dari usaha membangun zakat di Kepakisan yakni membangun pondasi pemahaman keagamaan yang kuat di kalangan warga desa. Usaha ini dibangun dan dilakukan secara integral, bersamaan dengan dakwah mengenai zakat. Ini penting mengingat latar belakang budaya masyarakat yang ketika itu masih dipenuhi unsur-unsur syirik atau khurafat. Kondisi ini terkait erat dengan latar belakang ajaran kejawen yang sangat kuat di kalangan masyarakat ketika itu. Masyarakat mempunyai kecenderungan berperilaku syirik, bergantung pada kekuatan-kekuatan yang diyakini terdapat pada benda-benda semisal keris, tombak, dan lain-lain. Mempercayai hari baik dan buruk untuk menentukan sesuatu, dan sebagainya. Usaha ini tentu tidak mudah. Menurut pengakuan para tetua desa yang kala itu turut terlibat dalam usaha dakwah yang dilakukan, menjauhkan masyarakat dari kepercayaan-kepercayaan dan prilaku lama menemui tantangan yang serius. Dengan pendekatan yang simpatik dan dilakukan secara perlahan, sedikit demi sedikit masyarakat meninggalkan kepercayaan dan kebiasaan lama yang mengandung unsur syirik. Tentang hal ini disebutkan oleh beberapa warga bahwa ketika itu kepala desa yang juga kyai kala itu, Pak Pojo, berhasil membujuk warganya untuk membuang semua benda-benda keramat milik mereka untuk dimusnahkan. Walhasil, sebanyak satu kontainer truk benda-benda yang pernah dikeramatkan diserahkan warga secara sukarela untuk dimusnahkan ke dalam salah satu kawah di kawasan itu. Tidak cukup dengan itu semua, usaha membangun peradaban zakat di Desa Kepakisan masih harus mengalami tantangan lain. Tahap ke-empat yakni mengikis dan menghilangkan sentimen-sentimen kelompok (ormas) dan berusaha membuat mereka bekerja sama demi kepentingan umat secara luas, tidak sekterian. Hal ini sangat penting mengingat di Desa Kepakisan terdapat beberapa ormas Islam seperti NU, SI, Muhammadiyah, Kelompok Salafi, sampai Jamaah Tabligh. Ketika itu, mereka bekerja sendiri-sendiri berdasarkan kepentingan tiap kelompok masing-masing. Tak jarang mereka melaksanakan ibadah hanya bersama anggota ormas. Keberhasilan menyatukan kelompok-kelompok masyarakat untuk bersama-sama terlibat memakmurkan zakat telah dengan sendirinya menunjang kesuksesan pengelolaan zakat di Desa Kepakisan. Saat ini masyarakat Desa Kepakisan tidak dapat dipisahkan dari zakat yang sejak dulu pun, secara tradisional telah mereka lakukan turun temurun. Budaya berderma masyarakat telah mempunyai sejarah panjang dan sudah secara integral menjadi nilai-nilai keseharian mereka. Inilah agaknya yang menjadikan ajaran zakat mudah diserap oleh mereka dan jauh melampaui apa yang mereka rencanakan sebelumnya, manfaat zakat telah secara luas dirasakan.]]>