Harapan besar yang dibebankan kepada BAZNAS oleh UU Pengelolaan Zakat baru untuk mewujudkan pengelolaan zakat nasional yang akuntabel akan sulit terealisasi.
Pengelolaan zakat di Indonesia mulai memasuki dimensi baru dalam pengaturannya. Setelah berlaku selama 12 tahun, akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2011, melalui Rapat Paripurna DPR, UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dicabut dan diganti oleh undang-undang baru dengan judul yang sama (selanjutnya disebut UU Pengelolaan Zakat baru). Pada proses pembahasannya, UU Pengelolaan Zakat baru disahkan menjadi usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna tanggal 31 Agustus 2010. Sehingga sampai pengesahannya, pada 27 Oktober 2011, undang-undang ini membutuhkan waktu lebih dari satu tahun, atau sama dengan empat kali masa sidang DPR. Dalam rentang waktu tersebut cukup bagi perancang undang-undang untuk membentuk undang-undang yang baik, bahkan apabila merujuk kepada Tata Tertib DPR, Pasal 141 ayat (1) hanya memberikan waktu maksimal tiga kali masa sidang untuk membentuk satu undang-undang. Dominasi Pengaturan tentang Kelembagaan Substansi UU Pengelolaan Zakat baru didominasi oleh pengaturan terkait dengan kelembagaan. Hal ini bisa dipahami karena judul dalam undang-undang ini, Pengelolaan Zakat, sangat terkait dengan aspek teknis, yang tidak bisa dipisahkan dengan kelembagaan pelaksana. Selain itu, pada huruf d dasar menimbang UU Pengelolaan Zakat baru pun menyebutkan bahwa “… dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam”, sehingga aspek kelembagaan memang mendapat perhatian lebih dari para perancang undang-undang tersebut. Dominasi pengaturan terkait dengan kelembagaan terlihat dari jumlah Pasal yang mengaturnya. Dari 47 Pasal secara keseluruhan, 32 Pasal diantaranya mengatur terkait dengan kelembagaan. Adapun kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pelaksana Zakat (UPZ). Dari kelima lembaga tersebut, BAZNAS diatur dengan pasal yang paling banyak, bahkan ada satu Bab khusus mengatur tentang BAZNAS, yaitu Bab II tentang Badan Amil Zakat Nasional. Pengaturan mengenai BAZNAS pun paling lengkap, yaitu mencakup definisi, kedudukan, sifat, bentuk, keanggotaan, fungsi, tugas, dan wewenang. Apabila dibandingkan dengan UU No 38 Tahun 1999, UU Pengelolaan Zakat baru mengatur hal yang berbeda sama sekali terkait dengan konsep kelembagaan BAZNAS. BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru merupakan satu lembaga yang definitif dan diatur secara rigid. Sedangkan BAZNAS dalam UU No 38 Tahun 1999 merupakan bentuk dari badan amil zakat yang hanya diatur fungsinya saja, sedangkan pengaturan mengenai BAZNAS secara definitif diatur dalam peraturan pelaksananya, yaitu Keputusan Presiden No 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional. Pengaturan BAZNAS secara definitif dalam undang-undang bukan tanpa konsekuensi. Suatu lembaga yang diatur langsung dalam undang-undang berarti memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya yang juga diatur dalam undang-undang, sebut saja seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau Komnas HAM). Selain itu, karakteristik lembaga-lembaga yang diatur secara definitif dalam suatu undang-undang memiliki sifat mandiri, atau tidak terikat pada satu cabang kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif. BAZNAS sebagai lembaga yang diatur secara definitif dalam undang-undang juga memiliki sifat mandiri. Sifat mandiri tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat baru. Namun, selain sifat yang mandiri, ada dua unsur lain yang diatur dalam Pasal tersebut, yaitu BAZNAS sebagai lembaga pemerintah non-struktural, dan BAZNAS yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri (dalam hal ini Menteri Agama). Sehingga redaksional Pasal 5 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat baru secara lengkap adalah sebagai berikut “BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.” Ketiga unsur yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat baru tersebut saling bertentangan satu sama lain. Setidaknya ada dua hal yang patut untuk dikemukakan kepada publik, yaitu pertentangan antara sifat mandiri suatu lembaga dengan bentuk tanggung jawabnya kepada Presiden melalui Menteri, dan terminologi dari istilah “lembaga pemerintah nonstruktural”.
Kemandirian Setengah Hati Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konteks dari sifat mandiri dari lembaga yang dibentuk secara definitif dari suatu undang-undang adalah lepas dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kedudukan Presiden dalam Pasal 5 ayat (3) berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan, bukan Kepala Negara, karena dibantu oleh Menteri dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga, dengan adanya ketentuan bahwa BAZNAS bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri, sudah menkonstruksikan bahwa kedudukan BAZNAS berada di bawah kekuasaan eksekutif, yang secara otomatis mereduksi makna dari sifat mandiri pada BAZNAS. Sifat mandiri pada BAZNAS juga berada dalam konteks menjalankan wewenangnya, yaitu untuk melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional (Pasal 6 UU Pengelolaan Zakat baru). Namun, ada beberapa ketentuan juga yang kemudian mereduksi kembali sifat mandiri dari BAZNAS sebagai pengelola zakat secara nasional, yaitu dalam aspek keanggotaan dan pembentukan BAZNAS di daerah. Pasal 8 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat baru menyebutkan bahwa anggota BAZNAS terdiri dari delapan orang dari unsur masyarakat dan tiga orang dari unsur pemerintah. Keberadaan anggota BAZNAS yang berasal dari unsur pemerintah menandakan bahwa ada wakil pemerintah di tubuh BAZNAS, yang keberadaannya mewakili kepentingan dari pemerintah. Jelas hal ini merupakan bentuk dari intervensi dari pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Kondisi tersebut semakin ditegaskan dengan mekanisme bagaimana mereka dipilih. Anggota dari unsur pemerintah, dalam Pasal 8 ayat (4) UU Pengelolaan Zakat baru, ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat. Sedangkan untuk anggota dari unsur masyarakat, dalam Pasal 10 ayat (2), diangkat oleh Presiden berdasarkan usul dari Menteri setelah mendapat pertimbangan dari DPR-RI. Dari kedua mekanisme tersebut, jelas bahwa tidak ada pemilihan yang terbuka dan transparan yang dilakukan untuk pemilihan anggota BAZNAS. Sehingga kondisi tersebut semakin melunturkan sifat mandiri yang sudah dengan tegas diatur sebelumnya. Sedangkan dalam aspek pembentukan BAZNAS di daerah, perlu untuk dipahami terlebih dahulu maksud dan tujuan pembentukannya. Dalam Pasal 15 ayat (1) jelas disebutkan bahwa pembentukan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota adalah dalam rangka pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga keberadaan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota adalah dalam rangka pelaksanaan wewenang dari BAZNAS, yaitu pelaksanaan tugas pengelolaan zakat. Sebagai lembaga yang memiliki sifat mandiri, BAZNAS seharusnya berhak untuk memiliki wewenang untuk membentuk BAZNAS di daerah tersebut. Namun sifat mandiri dari BAZNAS kembali tereduksi dalam hal ini karena pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) diatur bahwa BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri, sedangkan peran BAZNAS hanya sebagai pemberi pertimbangan, itupun tidak langsung kepada Menteri, tetapi kepada kepala daerah masing-masing wilayah. Dalam hal kedudukan, keanggotaan, dan pembentukan BAZNAS di daerah seperti telah dijelaskan sebelumnya, membuktikan bahwa pemberian sifat mandiri pada BAZNAS hanya setengah hati. Penjelasan diatas juga membuktikan bahwa pengaturan BAZNAS pada UU Pengelolaan Zakat baru tidak ada perbedaan dari pengaturan BAZNAS pada UU No 38 Tahun 1999, yatu tetap sebagai lembaga pemerintah, yang berada di bawah Presiden dan Menteri Agama. Persoalan “Lembaga Pemerintah Non-Struktural” Selain terkait dengan sifat mandiri, Pasal 5 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat baru juga menggunakan satu istilah sebagai kategori dari kelembagaan BAZNAS, yaitu “lembaga pemerintah nonstruktural”. Istilah ini seakan benar, namun apabila ditelisik lebih jauh sulit untuk dipahami maksudnya. Istilah untuk mengkategorikan lembaga sisipan negara di Indonesia saat ini dikenal dua kelompok besar, yaitu lembaga non-struktural dan lembaga pemerintah non-kementerian. Kedua kelompok ini tidak bisa dicampur satu sama lain, karena memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk mengetahui karakteristik tersebut, salah satunya dapat dilihat dari pengertian masing-masing. Lembaga non-struktural dikenal dengan pengkategorian bagi lembaga-lembaga yang berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga non-struktural biasa dibentuk dengan memberikan sifat mandiri karena bertugas sebagai lembaga penyeimbang, atau pengawasan eksternal, bagi pelaksanaan dari ketiga kekuasaan tersebut. Sedangkan untuk lembaga pemerintah non-kementerian, pengertiannya dapat merujuk kepada Pasal 25 ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengkoordinasikan. Apabila dikaitkan dengan pengaturan mengenai BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru, dapat dipahami bahwa lembaga ini memang seakan berdiri dalam dua wilayah yang saling bertentangan karakteristiknya. Sehingga cukup mengkonfirmasi bahwa pengaturan BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat tidak menegaskan bentuk yang jelas. Kondisi tersebut tentu berpotensi membawa implikasi yang serius, terutama pada kinerja BAZNAS ke depan. Potensi Implikasi Kelembagaan Baznas Tulisan di atas telah secara panjang lebar menjelaskan bagaimana BAZNAS diberikan “hadiah” sifat mandiri dalam UU Pengelolaan Zakat baru, namun kemudian seakan tidak diberikan peluang lebih untuk merealisasikan kemandiriannya tersebut. Problematika kelembagaan seperti ini sudah kerap terjadi di Indonesia. Walhasil banyak lembaga sisipan negara yang akhirnya tidak berperan signifikan, atau mengalami disfungsi dalam implementasi tugas dan wewenangnya. Kondisi ini juga berpotensi terjadi terhadap BAZNAS. Harapan besar yang dibebankan kepada BAZNAS oleh UU Pengelolaan Zakat baru untuk mewujudkan pengelolaan zakat nasional yang akuntabel akan sulit terealisasi. Implikasi ini berpotensi terjadi karena dalam melaksanakan wewenangnya tanpa kemandirian, BAZNAS akan terus berada dibawah komando Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Sehingga kondisi ini kemudian akan menihilkan mekanisme check and balances atau pengawasan pengelolaan zakat, yang seharusnya juga diperankan oleh Menteri Agama sebagai bagian dari Pemerintah.
Potensi implikasi dari pengaturan kelembagaan BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru ini bukan hanya terhadap pengelolaan zakat, tetapi juga terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia secara umum. Bentuk kelembagaan BAZNAS yang mencampuradukkan antara lembaga nonstruktural dan lembaga pemerintah nonkementerian, yang berimbas kepada penempatan lembaga mandiri di bawah Menteri akan menjadi persoalan ketatanegaraan tersendiri, atau bahkan menjadi preseden buruk bagi pengaturan kelembagaan negara di Indonesia. Menuju Pengelolaan Zakat yang Partisipatif Pengelolaan zakat di Indonesia bukan semata-mata milik Pemerintah. Peran masyarakat sipil, terutama umat Islam, juga sangat besar, bahkan telah memiliki sistem sendiri yang berkembang di internal masyarakat. Bertambahnya terus jumlah dana zakat yang terkumpul sampai saat ini tidak lepas dari upaya yang dilakukan masyarakat sipil, bahkan tidak jarang prestasi tersebut didapat tanpa campur tangan Pemerintah. Aspek kelembagaan pengelola zakat menjadi hal krusial dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Pembayar zakat tentu akan menyalurkan zakatnya kepada lembaga yang sudah mereka percaya, dan dianggap tepat penyalurannya. Aspek kepercayaan inilah yang kemudian tidak bisa “dibeli” paksa, termasuk oleh peraturan sekalipun. Oleh karena itu, fungsi Pemerintah sebagai regulator (pembentuk peraturan) perlu untuk memiliki pandangan bahwa pengelolaan zakat harus partisipatif, bukan semata-mata urusan Pemerintah. Peran Pemerintah tidak perlu selalu dalam bentuk serving (melayani), namun dalam hal pengelolaan zakat ini cukup melakukan empowering (pemberdayaan) terhadap upaya masyarakat selama ini melalui, salah satunya melalui kelembagaan LAZ. UU Pengelolaan Zakat yang baru masih membutuhkan sepuluh materi peraturan pelaksanaan, delapan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sedangkan dua diantaranya melalui Peraturan Menteri. Dalam pembentukan peraturan pelaksanaan tersebut, Pemerintah sudah harus memakai perspektif yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu pelaksanaan pengelolaan zakat yang partisipatif. Agar kemudian publik pun tidak berprasangka negatif, yang hanya akan berdampak kontra produktif dengan harapan dari pembentukan UU Pengelolaan Zakat baru.
Sumber : hukumonline.com
]]>