• Phone: 085215646958
  • training@imz.or.id
Stay Connected:

AGAR AQIL KETIKA BALIGH
Oleh: Fatchuri Rosidin, Pegiat Pendidikan Aqil Baligh

Rabu siang 19 Februari 2025 tawuran berdarah siswa sekolah pecah di Sukabumi. Dua pelajar dilarikan ke RS terkena luka bacok di wajah, luka tusuk, dan sayatan di tubuhnya. Lima hari sebelumnya tawuran pelajar juga terjadi di sekitar Senen Jakarta. Polisi menemukan 6 bilah celurit di lokasi kejadian. Di Garut, 2 siswa SD terlibat duel maut hingga berujung salah satunya meninggal terkena tikaman senjata tajam.

Juli 2025, 4 pelajar di Lampung ditangkap polisi karena memperkosa seorang gadis berusia 15 tahun yang dijebak lewat media sosial. Di kota yang sama, tahun 2019, seorang remaja berusia 15 tahun memperkosa kambing dan kakak perempuannya yang difabel.

Mari kita renungkan. kenapa semakin banyak kasus kriminal dilakukan oleh anak remaja? Kenapa terjadi kemunduran kualitas generasi muda kita?

Bung Karno dulu pernah berkata: “berikan aku 10 pemuda. akan aku guncang dunia.” Kalau Bung Karno hidup di jaman sekarang, mungkin dia akan berkata, “cukup berikan aku satu remaja. pusiiing kepala dibuatnya” 😁

Anak-anak sekarang mencapai usia baligh di usia 10-12 tahun, Tapi kedewasaan — yang ditandai dengan kematangan dan kemandirian – baru terjadi di usia lebih dari 20 tahun. Mahasiswa sekarang banyak yg belum dewasa.

Baligh itu kematangan fisik. Aqil itu kematangan psikologis. Alias kedewasaan. Ada jeda waktu 10-14 tahun masa dimana seseorang sudah baligh tapi dia belum aqil. Ini periode yang sangat berbahaya. Masa-masa ini disebut sebagai masa pencarian identitas; masa remaja.

Istilah remaja baru muncul akhir abad ke-19 di Eropa setelah revolusi industri, sebelumnya tidak ada. Munculnya generasi yang disebut remaja itu akibat kegagalan orang tua mendidik anak karena bermigrasi ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik pasca revolusi industri. Jadi remaja itu produk kegagalan peradaban.

Islam tidak mengenal istilah remaja. Saat anak laki2 mengalami mimpi basahnya yang pertama, hari itu juga dia secara hukum sudah menjadi orang dewasa, bukan anak2 lagi. Dia sudah mukallaf, terkena hukum2 syariat. Sejak saat itu jangan lagi panggil dia anak2. Sebut dia pemuda. Dulu dipanggil dengan istilah “Bung!”

Sebelum anak saya baligh, saya sering berkata kepadanya, “Zaki, kalau kamu sudah baligh, abi tidak lagi wajib memberimu makan. Tidak lagi wajib menyediakan tempat tinggal. Tapi kalau kamu belum punya uang yang cukup untuk makan sendiri, kamu bisa makan dari sedekah abi. Kalau belum punya rumah sendiri, kamu boleh menumpang di rumah abi.” Saya mengubah mindsetnya tentang baligh. Baligh itu tanggung jawab, bukan kebebasan.

Mari lihat kehidupan generasi terbaik Islam. Mari baca biografi mereka. Imam Syafii telah menjadi Hakim Agung kota Makkah di usia 15 tahun. Usamah bin Zaid telah jadi panglima perang di usia 18 tahun. Muhammad al-Fatih telah memimpin pasukan terkuat di dunia di usia 18 tahun.

Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, jika seseorang berusia 15 tahun, dia boleh berangkat berperang meskipun tanpa ijin orang tuanya. Usia 15 tahun dianggap usia di mana seseorang sudah benar-benar dewasa dan siap memikul beban kehidupan sebagai orang dewasa. Ini bisa kita jadikan sebagai acuan. Target pendidikan seharusnya menjadikan anak sudah dewasa di usia 15 tahun.

Hukum tidak mengenal remaja; hanya ada anak dan dewasa. Islam juga tidak mengenal istilah remaja. Baligh seharusnya diikuti dengan aqil. Kalau sudah baligh ya harusnya dia juga sudah aqil. Tapi mengapa usia baligh makin cepat? Mengapa usia aqil makin lambat?

Usia baligh makin cepat karena over nutrisi dan hormon. Kedua, stimulasi mata dan telinga dengan paparan konten dewasa di media dan ponsel.

Sebab ketiga adalah aktivasi formasi dan operasi yang terlalu dini. Belajar calistung (operasi mental berfikir) yg terlalu dini, akan memaksa otak melakukan tugas yg belum saatnya. Karena operasi mental itu baru siap di usia 7 tahun. Itu sebabnya calistung tidak boleh jadi alat seleksi masuk sekolah dasar. Anak baru siap belajar calistung itu justru setelah masuk SD.

Disiplin (salah satu bentuk operasi formasi di otak) yg diajarkan telalu dini, juga memaksa otak melakukan tugas yg belum saatnya. Karena disiplin itu baru siap di usia 7 tahun. Makanya kegiatan baris-berbaris di usia di bawah 7 tahun itu pasti bubar jalan.

Itulah juga kenapa Rasulullah menyuruh kita mengajarkan anak shalat di usia 7 tahun karena ibadah shalat penuh dengan gerakan-gerakan yang detail aturan tata caranya. Aturan, tata cara, kaifiyat, itu bentuk kegiatan formasi di otak. Sebelum usia 7 tahun mengajarkannya dengan contoh, karena anak usia prasekolah itu suka meniru. Mengajarkan shalat dengan contoh, biarkan anak mengikuti. Mengajarkan baca Qur’an dengan tasmi’ lalu anak menirunya.

Lalu, Kenapa aqil makin lambat? Pertama, karena hilangnya peran ayah. ayah terlalu sibuk bekerja, tak lagi punya waktu optimal di rumah. Pendidikan di rumah dilakukan sepenuhnya oleh ibu. Pendewasaan itu lebih efektif dilakukan oleh ayah dibandingkan ibu.

Kedua, pemanjaan dengan fasilitas. Anak tak belajar susah karena orang tua sekarang tak tega. Di rumah anak tinggal makan. Ke sekolah ada mobil antar jemput. Pulang sekolah sudah ada ART yang akan cucikan bajunya yang kotor. Anak tak pernah belajar menjadi orang dewasa karena tak pernah belajar memikul beban kehidupan.

Ketiga, penghindaran realita dan resiko. Anak tak belajar dari realita hidup karena diproteksi oleh orang tua. Anak tak belajar resiko karena aturan di rumah yang tidak mengajarkan itu. Kalau tidak mengerjakan PR, pasti ibunya nanti yang akan mengerjakan. Kalau dia berkelahi di sekolah, paling nanti orang tua yang akan menyelesaikan.

Keempat, rendahnyanya kemampuan berpikir. Anak tak pernah dilibatkan menyelesaikan masalah di rumah; semua masalah urusan orang tuanya. Mulai dari menyapu, mencuci piring, belanja, mengganti genteng bocor, sampai menghadapi tukang kredit, semua dikerjakan orang tua. Anak tak pernah belajar ‘magang’ menyelesaikan masalah. Orang tua tak pernah mengajak anak diskusi menyelesaikan masalah di rumah. Dia tidak terlatih problem solving.

Jadi, mari UBAH PARADIGMA : aqil dan baligh itu satu paket. Tak ada masa remaja dalam Islam. Kita mendidik anak untuk menjadi dewasa, bukan menjadi remaja. Dan ini tugas KEDUA orang tua. Tugas ayah dan ibu, bukan tugas sekolah! Mari lebih serius mendidik anak. Mari lebih serius belajar bagaimana mendidik anak karena cara didik kita akan menentukan masa depan mereka; karena kegagalan kita mendidik akan menyeret kita ke neraka.

Doa anak soleh yg diajakan ke anak-anak kita itu diakhiri dengan kalimat “…warhamhumaa kamaa robbayaanii soghiiro.” “sayangilah mereka sebagaimana mereka mendidik kami ketika kecil”. robbayani itu mendidik, bukan mengasihi. asal katanya robb yang artinya Tuhan. Dari kata robb lahirlah kata tarbiyah yang diterjemahkan sebagai pendidikan; pendidikan yang berorientasi pada Tuhan.

Jadi, doa ini doa bersyarat. Kita hanya akan mendapat sayangnya Allah kalau kita mendidik anak dg benar. Kalau kita tidak mendidiknya dengan benar, kita tidak mendapatkan doa ini.

Kedua, pelaku utama pendidikan aqil baligh adalah ayah dan ibu. Ayah harus terlibat lebih banyak dalam pendidikan anak. Jangan serahkan semua urusan anak ke ibu. Jangan jadi ayah ATM yg hanya dibutuhkan saat anak minta uang.

Pendidikan sekarang banyak didominasi kaum ibu. Di rumah, ibu yang berperan, di sekolah sebagian besar guru juga kaum ibu. Kemana para ayah? Ayah yang abai akan lahirkan anak yang alay. Apalagi kalau ibunya lebay 😁.

Tanggung jawab ayah dalam mendidik anak lebih besar daripada ibu. Dialog pendidikan anak dalam alquran itu ada 17 ayat. 14 ayat di antaranya itu dialog antara anak dan ayah. Tokohnya Ibrahim, Imran, dan Lukman. Jadi tanggung jawab ayah jauh lebih besar dibandingkan ibu.

Kongkritnya, apa yang harus dilakukan ayah dalam mendidik anak? Bagaimana pembagian peran antara ayah dan ibu? Ayah itu penanggung jawab pendidikan. Dia yang harus punya visi, misi dan rencana jangka panjang dlm pendidikan anak. Ibu adalah manajer harian pelaksananya.

Ayah mengajarkan ego dan individualitas agar anak tak cengeng menghadapi kerasnya hidup. Ibu menanamkan cinta dan sinergi agar anak tak menjadi manusia yang egois. Ayah membangun sistem berfikir, membiasakan anak menggunakan logika dan nalar, ibu memanusiakannya dengan menanamkan hati dan rasa. Ayah mengambil peran sebagai si raja tega membiarkan anak menghadapi masalah dan berjuang menyelesaikannya, ibu membasuhnya saat anak pulang dengan luka di hatinya.

Para ayah, ayo pulang ke rumah. Temani istri, berdiskusilah dan berbagi tugas mendidik anak-anak. Karena anak-anak itu ibarat burung; mereka butuh kedua sayapnya untuk bisa terbang. Dan kedua sayap itu adalah ayah dan ibunya.

Lalu, apa yang harus diajarkan oleh ayah dan ibu? Apa saja kurikulum pendidikan aqil baligh itu? Insya Allah di tulisan berikutnya saya akan bahas kurikulum pendidikan aqil baligh.

END

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

First Name*
Subject*
Email*
Your Comments