Ciputat, 3 Oktober 2011
Di tengah krisis yang berkepanjangan, zakat seolah menemukan momentum sejatinya. Sebab, banyak cendekiawan muslim meyakini bahwa kemiskinan dan kefakiran dapat ditanggulangi melalui zakat. Tak hanya itu, memerangi kemiskinan dan kefakiran dengan zakat juga merupakan jalan jihad untuk mendapat ridha Allah Swt yang sesungguhnya. ”Jihad itu jelas, musuh yang dihadapi adalah setan dan hawa nafsu. Kalau memusuhi makhluk sesama manusia seperti yang dilakukan seperti di Solo, kemarin, itu namanya bukan jihad. Jihad dengan mengafirkan orang lain yang tidak segolongan dengannya juga tindakan yang salah,” tutur Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Masruri Mughni saat memberikan tausiah pada acara Halalbihalal dan Workshop Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Zakat Produktif yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah di Hotel Semesta, Semarang, Sabtu (1/10). Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Dua Benda Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes itu, orang dapat disebut kembali suci pada Idul Fitri dikarenakan telah menunaikan kewajiban berzakat. Namun, persepsi yang kini berkembang di tengah masyarakat, zakat merupakan bentuk santunan dari orang yang mampu kepada yang tidak mampu. ”Persepsi itu harus diubah. Jadikan zakat sebagai upaya pengentasan kefakiran. Saya tidak sepakat dengan istilah miskin, tapi lebih tepat fakir. Fakir itu orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan harta. Zakat itu tujuannya mengangkat dari fakir menjadi mampu. Sistemnya diubah, pemberian zakat kepada orang fakir hingga dapat berusaha dan bangkit untuk memperoleh pekerjaan tetap,” paparnya. Ia mencontohkan, memberi modal orang fakir untuk mengembangkan usaha dapat menjadi sistem distribusi zakat. Dengan demikian, manfaat zakat lebih mengena dan mengangkat perekonomian dengan sesungguhnya. Kultural dan Struktural Ketua MUI Jateng Drs KH Ahmad Darodji MSi menjelaskan, berdasarkan data statistik 2010, warga miskin di Jawa Tengah 5.359 juta orang atau sekitar 16,5 persen dari total penduduk. Kemiskinan terjadi karena faktor kultural dan struktural. ”Kemiskinan yang disebabkan karena faktor kultural dapat dientaskan melalui motivasi dan pendidikan, sedangkan faktor struktural dapat dilakukan dengan pemberdayaan, pemberian modal, latihan keterampilan, bimbingan, serta monitoring dan evaluasi setelahnya,” katanya dalam workshop yang dimoderatori oleh Prof Dr H Ahmad Rofiq MA dan dihadiri Kepala Kantor Kementerian Agama se-Jateng, pengurus BAZ dan LAZ se-Jateng, Pengurus Dewan Masjid Indonesia se-Jateng, dan pengurus MUI kabupaten/kota. Kepala Bappeda Kota Semarang Bambang Haryono yang juga menjadi pembicara menyebutkan, angka kemiskinan di Kota Semarang 111.558 kepala keluarga (KK) atau sekitar 26,41 persen. ”Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah tidak akan mampu menangani sendiri tanpa peran dan dukungan semua pihak. Pengembangan strategi dan kebijakan yang tepat seperti pemberdayaan ekonomi dengan zakat produktif dapat disinergikan dengan upaya pemerintah,” ujarnya.
Sumber : suaramerdeka.com
]]>