Penulis : Ari Maulana (Indonesia Magnificence of Zakat – IMZ) Rabu (02/03/2011) kemarin, Komisi VIII DPR mengadakan raker dengan Kementrian Sosial membahas RUU Fakir Miskin. Menurut situs resmi DPR-RI, RUU ini bertujuan agar adanya instrumen negara yang lebih fokus dalam penanganan terhadap kelompok masyarakat yang disebut fakir miskin. Selama ini memang banyak departemen di pemerintahan yang mengurusi fakir miskin, selain Kementrian Sosial, minimal Kementrian Agama dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga memiliki program yang terkait dengan pengurusan masyarakat fakir miskin. Namun banyak program tersebut menjadi tidak fokus, karena tak jarang tiap-tiap departemen berjalan dengan programnya sendiri, nyaris tanpa sinergi. Maklum, untuk urusan bongkar pasang dan perbaikan jalan saja, negara ini tidak fokus. Jalan yang sudah susah-payah diperbaiki oleh PU, bisa jadi akan dibongkar lagi oleh Telkom atau PLN, untuk kemudian di’tambal’ dengan seadanya yang akan berlobang dalam hitungan pekan. Rencana pemerintah untuk lebih fokus dalam menangani masalah fakir miskin adalah suatu hal yang dapat menggembirakan, apabila diikuti dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak memiskinkan, karena kebijakan macam itu dapat membuat fokus penanganan masalah fakir miskin akan menjadi seperti meng-gula-i air laut.
Haji Udin contohnya, pengusaha dari desa Rancalabuh ini awalnya adalah seorang miskin. Dengan modal awal Rp 20.000 dia memulai usaha konveksinya hingga memiliki pabrik dengan banyak mesin jahit. Namun musibah kebakaran yang menimpa tokonya, dibarengi dengan kenaikan harga BBM pada tahun 2008, membuatnya kembali terpuruk. Usaha salah satu kader binaan Masyarakat Mandiri, jejaring Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa inipun mandeg. Rumah dan pabriknya kemudian dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Akibatnya ketika itu, Haji Udin yang sempat kaya kembali miskin.
Nasib Purwati masih lebih baik dari Haji Udin. Salah seorang pedagang di pasar tradisional Johar Baru, Jakarta Pusat ini mengeluhkan usahanya yang semakin menurun, karena kalah bersaing dengan minimarket yang menjamur hingga pelosok Jakarta. Penghasilannya yang pernah rata-rata 3,5 juta per hari, kini merosot jadi maksimal 1 juta per hari. Modal yang lebih besar, tentunya membuat minimarket dan bahkan hypermarket yang kini juga dibangun berdekatan dengan pasar tradisional, seperti Carrefour di dekat Pasar Ciputat, dapat menjadi sinyal kematian bagi para pedagang kecil. Karena itu bila pemerintah serius ingin fokus dalam menangani masalah fakir miskin, terlebih dahulu harus dilakukan redefinisi terhadap makna miskin itu sendiri. Menurut BPS, standar kemiskinan ditetapkan sekitar Rp 200.000 per bulan per kapita (Antara News 13/11/2010). Dengan perkiraan kebutuhan beras sekitar 0,4 kg per orang per hari (Rakyat Merdeka Online 04/03/2011), dari angka standar itu sudah terbebani sebesar 10% hanya untuk digunakan membeli raskin jatah sebulan dengan harga Bulog. Bila ditambah beban belanja konsumsi yang 4 sehat 5 sempurna, plus biaya kesehatan dan transport, tentunya Rp 200.000 sangat jauh dari apa yang disebut miskin. Dalam menentukan standar kemiskinan, angka yang ditetapkan Bank Dunia yaitu US$ 2 per hari, tentunya lebih logis. Dengan dolar setara Rp 8.800, standar kemiskinan versi Bank Dunia adalah menjadi Rp 528.000 per bulan. Selain redefinisi dan perubahan standar kemiskinan, pemerintah juga seharusnya memiliki blueprint pengentasan kemiskinan yang merupakan hasil kesepakatan seluruh elemen pemerintahan. Blueprint tersebut diperlukan agar program-program penanganan masalah fakir miskin dapat menjadi program yang berkelanjutan dan komprehensif, bukan sekadar tambal-sulam. Repelita di masa Orde Baru adalah sebuah contoh program yang berkelanjutan, meski mungkin belum komprehensif, namun pola pembangunan seperti itu layak ditiru oleh pemerintahan yang sekarang. Kemiskinan memang masalah yang harus dicari solusinya bersama, pemerintah maupun elemen masyarakat. Karena itulah peran setiap elemen akan menjadi lebih bermakna bila dibingkai dalam sinergi program yang berkelanjutan. Semoga apabila nanti RUU Fakir Miskin tersebut sudah menjadi UU, keberadaannya tidak seperti meng-gula-i air laut, menjadi tidak efektif karena di satu sisi pemerintah (bersama masyarakat) ingin mengentaskan kemiskinan, namun di sisi lain kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru melahirkan kemiskinan yang baru. (telah dimuat di http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/04/kebijakan-yang-memiskinkan/) Foto : un2kmu.wordpress.com]]>