Sore, sekitar setengah lima kurang saya baru saja sampai di Asrama. Kami (kelas Q 14) baru saja mengadakan field trip ke Desa Cikarawang (daerah belakang IPB via Asrama Putra). Tujuan kami disana sebenarnya untuk mengadakan observasi mengenai Pola Adaptasi Ekologi, salah satu Bab di mata kuliah Sosiologi Umum. Kami berangkat menuju lokasi dengan angkot yang kami sewa. Sepanjang perjalanan, terdapat bengkel-bengkel ataupun laboratorium IPB yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Kami juga melewati Situ Gede dan perumahan atau komplek Cikarawang yang kebanyakan dihuni oleh pegawai IPB. Tak butuh waktu yang lama, kami pun sampai di Desa Cikarawang. Sudah ada Ka Syifa (asisten praktikum Sosiologi Umum kelas kami) dan teman-teman saya dari kloter sebelumnya disana. Sambil menunggu teman-teman dari kloter selanjutnya, kami berkumpul terlebih dahulu di suatu rumah yang memiliki plang bertuliskan “GAPOKTAN” (Gabungan Kelompok Tani). Rumah tesebut ternyata merupakan kediaman Pak Ahmad Bastari (Pak Amat) yang merupakan ketua Gapoktan Mandiri Jaya. Terdapat sebuah etalase dan sebuah rak besar di teras rumah tersebut. Etalase dan rak-rak tersebut berisi produk-produk Gapoktan—seperti tepung ubi jalar, keripik singkong, keripik ubi, dendeng belut, sampai obat kuat dari kepala belut—,dan ada pula produk-produk penunjang pertanian—seperti pupuk organik, pakan ternak, dan pupuk buatan. Di etalase tersebut juga dipajang berbagai foto dan penghargaan yang pernah diterima oleh Gapoktan, sayangnya, saya lupa mencatat penghargaan apa saja itu.Pak Amat mengatakan bahwa ini bukanlah kali pertama mereka kedatangan mahasiswa IPB, sudah sering mahasiswa IPB yang mengadakan observasi dan penelitian disini.Setelah semua anak berkumpul, kami langsung berjalan menuju daerah observasi. Setiap kelompok bebas memilih daerah observasinya masing-masing. Pada awalnya kami berjalan bersama-sama, lalu sepanjang jalan, setiap menemui daerah observasi yang dirasa cukup menarik, satu per satu kelompok mulai memisahkan diri. Kelompok saya, kelompok 8, memilih lokasi yang paling jauh, walaupun kami tak tahu jenis pertanian apa kira-kira yang akan kami observasi. Lalu, ketika hanya kelompok kami yang tersisa, kami tertarik ketika melihat seorang bapak yang sedang mencangkul tanah. Kami pun sepakat untuk memilih lokasi tersebut dan memilih bapak itu sebagai narasumber. Bapak tersebut bernama Pak Anam (62 tahun), dan ternyata, lebih tepatnya, yang sedang ia lakukan adalah menggali. Lokasi yang kami pilih ternyata adalah sebuah calon tambak ikan. Pak Anam sedang membuat tambak ke-14 nya. Karena baru saja memulai menggali, maka kami benar-benar tak menyadari bahwa lokasi itu akan dijadikan sebuah tambak, lokasi itu terlihat seperti sebidang tanah bekas kebun singkong saja. Menurut Pak Anam, tambak ini nantinya akan diisi oleh bibit ikan bawal, seperti beberapa tambaknya yang sebelumnya. Sementara tambak-tambaknya yang lain diisi oleh ikan mujair dan gurame, kebanyakan campuran antara mujair-gurame, gurame-bawal, ataupun mujair-bawal. Sebagian besar kolam-kolam ini berfungsi sebagai penggemukkan bibit saja, jadi, Pak Anam tidak memelihara bibit tersebut sampai menjadi pedaging, katanya, ia terlalu bosan menunggu sampai menjadi pedaging. Bibit-bibit tersebut biasanya dipesan tengkulak, ukuran bibitnya pun sesuai pesanan mereka. Sekitar 2-3 tambak lainnya Pak Anam biarkan menjadi pedaging. Biasanya hasil dari tambak tersebut untuk makan dan menjadi pemancingan kecil-kecilan. Dahulu ia pernah membuat pemancingan lele, tetapi merugi karena memelihara lele membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih besar. Pakannya harus selalu diatur. Selain itu faktor cuaca di Bogor juga berpengaruh. Lele tidak begitu cocok dengan cuaca di Bogor sebagai kota Hujan. Terutama jika sudah diguyur hujan pada malam hari, pada pagi harinnya lele-lele itu sudah tergeletak kaku. Hal itu juga menjadi salah satu alasan Pak Amat memilih Ikan Bawal menjadi fokus usahanya, lebih kuat , lebih tahan, dan lebih gampang makannya, makannya bisa apa saja, daun ubi, daun pisang, bahkan daun talas sekalipun, asal di keringkan terlebih dahulu. Pak Anam memulai usaha ini sejak 2 tahun yang lalu. Sebelumnya ia bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi seorang istri dan kesembilan anaknya. Ketika usia semakin lanjut, Pak Anam memutuskan untuk membuat usaha yang bisa dilakukan dirumah. Anaknya yang paling besar kemudian memberikannya modal, sekitar 5 juta rupiah. Modal itu kemudian ia pakai untuk membeli sebidang tanah berukuran 200m2 untuk dijadikan lahan tambak, membeli bibit ikan, dll. Modal itu terus ia putar supaya ia bisa membeli tanah lagi dan membuat tambak-tambak yang baru. Diakuinya, pada musim panen yakni sekitar setiap 3 bulan, dari 300 ekor bibit yang sudah digemukkan dihargai Rp 3550,00 @ ekor, dari modal awal Rp 1500,00 @ ekor. Tengkulak-tengkulak itu kebanyakan berasal dari daerah Cikampak, Cibatu, dan Cibening. Tak banyak keuntungannya memang, mengingat tenaga, waktu dan modal yang dikeluarkan cukup besar. Apalagi ikan-ikan di dalam tambak ini sering menjadi incaran ‘serok’, hewan sejenis musang yang sering memangsa ikan. Untuk menjaga kolamnya ini supaya tetap aman, baik dari hewan maupun tangan-tangan jahil manusia, Pak Aman sering menggunakan jasa tetangga-tetangganya yang sedang menganggur. Imbalannya tak banyak, hanya beberapa ekor ikan jika sedang panen, walaupun begitu, tangga-tetanganya tetap ikhlas membantunya, mereka tahu bahawa Pak Anam hanyalah pengusaha bermodal kecil yang juga ingin ikut menyejahterakan orang-orang disekitarnya. Setiap kali panen, tetangga-tetangganya yang lain juga diizinkan ‘mencicipi’ beberapa ekor hasil usahanya. Pak Anam tak pernah takut rezekinya habis. “ Kalau mau menanam singkong, jangan pagari dengan pagar bambu, pagarilah dengan singkong itu juga. Kalau mau menambak ikan, jangan pagari kolamnya dengan pagar besi, tapi pagarilah dengan ikan itu juga,” katanya bijak. Maksud dari ungkapan ini ialah, jika kita ingin menanam sesuatu, kita harus berbagi kepada orang-orang disekitar kita dengan sesuatu tersebut. Dengan begitu, orang-orang bisa menikmati hasilnya dan dapat timbul ‘rasa memiliki’, sehingga mereka akan ikau menjaga dan tidak akan berbuat macam-macam terhadap apa yang kita tanam. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia mengandalkan warung kecil-kecilan di rumahnya. Ia terus berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. “ Saya mah nggak sekolah, Neng. Yang penting anak-anak saya yang sekolah dan sekarang udah pada kerja semua,” ujarnya. Jadi, ketika Anda makan ikan Bawal, mungkin saja itu hasil kerjakeras penambak sederhana yang bijaksana. *Penulis Sarah Diana Yulianti Fateta IPB 081389457530Sore, sekitar setengah lima kurang saya baru saja sampai di Asrama. Kami (kelas Q 14) baru saja mengadakan field trip ke Desa Cikarawang (daerah belakang IPB via Asrama Putra). Tujuan kami disana sebenarnya untuk mengadakan observasi mengenai Pola Adaptasi Ekologi, salah satu Bab di mata kuliah Sosiologi Umum. Kami berangkat menuju lokasi dengan angkot yang kami sewa. Sepanjang perjalanan, terdapat bengkel-bengkel ataupun laboratorium IPB yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Kami juga melewati Situ Gede dan perumahan atau komplek Cikarawang yang kebanyakan dihuni oleh pegawai IPB. Tak butuh waktu yang lama, kami pun sampai di Desa Cikarawang. Sudah ada Ka Syifa (asisten praktikum Sosiologi Umum kelas kami) dan teman-teman saya dari kloter sebelumnya disana. Sambil menunggu teman-teman dari kloter selanjutnya, kami berkumpul terlebih dahulu di suatu rumah yang memiliki plang bertuliskan “GAPOKTAN” (Gabungan Kelompok Tani). Rumah tesebut ternyata merupakan kediaman Pak Ahmad Bastari (Pak Amat) yang merupakan ketua Gapoktan Mandiri Jaya. Terdapat sebuah etalase dan sebuah rak besar di teras rumah tersebut. Etalase dan rak-rak tersebut berisi produk-produk Gapoktan—seperti tepung ubi jalar, keripik singkong, keripik ubi, dendeng belut, sampai obat kuat dari kepala belut—,dan ada pula produk-produk penunjang pertanian—seperti pupuk organik, pakan ternak, dan pupuk buatan. Di etalase tersebut juga dipajang berbagai foto dan penghargaan yang pernah diterima oleh Gapoktan, sayangnya, saya lupa mencatat penghargaan apa saja itu.Pak Amat mengatakan bahwa ini bukanlah kali pertama mereka kedatangan mahasiswa IPB, sudah sering mahasiswa IPB yang mengadakan observasi dan penelitian disini.Setelah semua anak berkumpul, kami langsung berjalan menuju daerah observasi. Setiap kelompok bebas memilih daerah observasinya masing-masing. Pada awalnya kami berjalan bersama-sama, lalu sepanjang jalan, setiap menemui daerah observasi yang dirasa cukup menarik, satu per satu kelompok mulai memisahkan diri. Kelompok saya, kelompok 8, memilih lokasi yang paling jauh, walaupun kami tak tahu jenis pertanian apa kira-kira yang akan kami observasi. Lalu, ketika hanya kelompok kami yang tersisa, kami tertarik ketika melihat seorang bapak yang sedang mencangkul tanah. Kami pun sepakat untuk memilih lokasi tersebut dan memilih bapak itu sebagai narasumber. Bapak tersebut bernama Pak Anam (62 tahun), dan ternyata, lebih tepatnya, yang sedang ia lakukan adalah menggali. Lokasi yang kami pilih ternyata adalah sebuah calon tambak ikan. Pak Anam sedang membuat tambak ke-14 nya. Karena baru saja memulai menggali, maka kami benar-benar tak menyadari bahwa lokasi itu akan dijadikan sebuah tambak, lokasi itu terlihat seperti sebidang tanah bekas kebun singkong saja. Menurut Pak Anam, tambak ini nantinya akan diisi oleh bibit ikan bawal, seperti beberapa tambaknya yang sebelumnya. Sementara tambak-tambaknya yang lain diisi oleh ikan mujair dan gurame, kebanyakan campuran antara mujair-gurame, gurame-bawal, ataupun mujair-bawal. Sebagian besar kolam-kolam ini berfungsi sebagai penggemukkan bibit saja, jadi, Pak Anam tidak memelihara bibit tersebut sampai menjadi pedaging, katanya, ia terlalu bosan menunggu sampai menjadi pedaging. Bibit-bibit tersebut biasanya dipesan tengkulak, ukuran bibitnya pun sesuai pesanan mereka. Sekitar 2-3 tambak lainnya Pak Anam biarkan menjadi pedaging. Biasanya hasil dari tambak tersebut untuk makan dan menjadi pemancingan kecil-kecilan. Dahulu ia pernah membuat pemancingan lele, tetapi merugi karena memelihara lele membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih besar. Pakannya harus selalu diatur. Selain itu faktor cuaca di Bogor juga berpengaruh. Lele tidak begitu cocok dengan cuaca di Bogor sebagai kota Hujan. Terutama jika sudah diguyur hujan pada malam hari, pada pagi harinnya lele-lele itu sudah tergeletak kaku. Hal itu juga menjadi salah satu alasan Pak Amat memilih Ikan Bawal menjadi fokus usahanya, lebih kuat , lebih tahan, dan lebih gampang makannya, makannya bisa apa saja, daun ubi, daun pisang, bahkan daun talas sekalipun, asal di keringkan terlebih dahulu. Pak Anam memulai usaha ini sejak 2 tahun yang lalu. Sebelumnya ia bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi seorang istri dan kesembilan anaknya. Ketika usia semakin lanjut, Pak Anam memutuskan untuk membuat usaha yang bisa dilakukan dirumah. Anaknya yang paling besar kemudian memberikannya modal, sekitar 5 juta rupiah. Modal itu kemudian ia pakai untuk membeli sebidang tanah berukuran 200m2 untuk dijadikan lahan tambak, membeli bibit ikan, dll. Modal itu terus ia putar supaya ia bisa membeli tanah lagi dan membuat tambak-tambak yang baru. Diakuinya, pada musim panen yakni sekitar setiap 3 bulan, dari 300 ekor bibit yang sudah digemukkan dihargai Rp 3550,00 @ ekor, dari modal awal Rp 1500,00 @ ekor. Tengkulak-tengkulak itu kebanyakan berasal dari daerah Cikampak, Cibatu, dan Cibening. Tak banyak keuntungannya memang, mengingat tenaga, waktu dan modal yang dikeluarkan cukup besar. Apalagi ikan-ikan di dalam tambak ini sering menjadi incaran ‘serok’, hewan sejenis musang yang sering memangsa ikan. Untuk menjaga kolamnya ini supaya tetap aman, baik dari hewan maupun tangan-tangan jahil manusia, Pak Aman sering menggunakan jasa tetangga-tetangganya yang sedang menganggur. Imbalannya tak banyak, hanya beberapa ekor ikan jika sedang panen, walaupun begitu, tangga-tetanganya tetap ikhlas membantunya, mereka tahu bahawa Pak Anam hanyalah pengusaha bermodal kecil yang juga ingin ikut menyejahterakan orang-orang disekitarnya. Setiap kali panen, tetangga-tetangganya yang lain juga diizinkan ‘mencicipi’ beberapa ekor hasil usahanya. Pak Anam tak pernah takut rezekinya habis. “ Kalau mau menanam singkong, jangan pagari dengan pagar bambu, pagarilah dengan singkong itu juga. Kalau mau menambak ikan, jangan pagari kolamnya dengan pagar besi, tapi pagarilah dengan ikan itu juga,” katanya bijak. Maksud dari ungkapan ini ialah, jika kita ingin menanam sesuatu, kita harus berbagi kepada orang-orang disekitar kita dengan sesuatu tersebut. Dengan begitu, orang-orang bisa menikmati hasilnya dan dapat timbul ‘rasa memiliki’, sehingga mereka akan ikau menjaga dan tidak akan berbuat macam-macam terhadap apa yang kita tanam. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia mengandalkan warung kecil-kecilan di rumahnya. Ia terus berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. “ Saya mah nggak sekolah, Neng. Yang penting anak-anak saya yang sekolah dan sekarang udah pada kerja semua,” ujarnya. Jadi, ketika Anda makan ikan Bawal, mungkin saja itu hasil kerjakeras penambak sederhana yang bijaksana. *Penulis Sarah Diana Yulianti Fateta IPB 081389457530Sore, sekitar setengah lima kurang saya baru saja sampai di Asrama. Kami (kelas Q 14) baru saja mengadakan field trip ke Desa Cikarawang (daerah belakang IPB via Asrama Putra). Tujuan kami disana sebenarnya untuk mengadakan observasi mengenai Pola Adaptasi Ekologi, salah satu Bab di mata kuliah Sosiologi Umum. Kami berangkat menuju lokasi dengan angkot yang kami sewa. Sepanjang perjalanan, terdapat bengkel-bengkel ataupun laboratorium IPB yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Kami juga melewati Situ Gede dan perumahan atau komplek Cikarawang yang kebanyakan dihuni oleh pegawai IPB. Tak butuh waktu yang lama, kami pun sampai di Desa Cikarawang. Sudah ada Ka Syifa (asisten praktikum Sosiologi Umum kelas kami) dan teman-teman saya dari kloter sebelumnya disana. Sambil menunggu teman-teman dari kloter selanjutnya, kami berkumpul terlebih dahulu di suatu rumah yang memiliki plang bertuliskan “GAPOKTAN” (Gabungan Kelompok Tani). Rumah tesebut ternyata merupakan kediaman Pak Ahmad Bastari (Pak Amat) yang merupakan ketua Gapoktan Mandiri Jaya. Terdapat sebuah etalase dan sebuah rak besar di teras rumah tersebut. Etalase dan rak-rak tersebut berisi produk-produk Gapoktan—seperti tepung ubi jalar, keripik singkong, keripik ubi, dendeng belut, sampai obat kuat dari kepala belut—,dan ada pula produk-produk penunjang pertanian—seperti pupuk organik, pakan ternak, dan pupuk buatan. Di etalase tersebut juga dipajang berbagai foto dan penghargaan yang pernah diterima oleh Gapoktan, sayangnya, saya lupa mencatat penghargaan apa saja itu.Pak Amat mengatakan bahwa ini bukanlah kali pertama mereka kedatangan mahasiswa IPB, sudah sering mahasiswa IPB yang mengadakan observasi dan penelitian disini.Setelah semua anak berkumpul, kami langsung berjalan menuju daerah observasi. Setiap kelompok bebas memilih daerah observasinya masing-masing. Pada awalnya kami berjalan bersama-sama, lalu sepanjang jalan, setiap menemui daerah observasi yang dirasa cukup menarik, satu per satu kelompok mulai memisahkan diri. Kelompok saya, kelompok 8, memilih lokasi yang paling jauh, walaupun kami tak tahu jenis pertanian apa kira-kira yang akan kami observasi. Lalu, ketika hanya kelompok kami yang tersisa, kami tertarik ketika melihat seorang bapak yang sedang mencangkul tanah. Kami pun sepakat untuk memilih lokasi tersebut dan memilih bapak itu sebagai narasumber. Bapak tersebut bernama Pak Anam (62 tahun), dan ternyata, lebih tepatnya, yang sedang ia lakukan adalah menggali. Lokasi yang kami pilih ternyata adalah sebuah calon tambak ikan. Pak Anam sedang membuat tambak ke-14 nya. Karena baru saja memulai menggali, maka kami benar-benar tak menyadari bahwa lokasi itu akan dijadikan sebuah tambak, lokasi itu terlihat seperti sebidang tanah bekas kebun singkong saja. Menurut Pak Anam, tambak ini nantinya akan diisi oleh bibit ikan bawal, seperti beberapa tambaknya yang sebelumnya. Sementara tambak-tambaknya yang lain diisi oleh ikan mujair dan gurame, kebanyakan campuran antara mujair-gurame, gurame-bawal, ataupun mujair-bawal. Sebagian besar kolam-kolam ini berfungsi sebagai penggemukkan bibit saja, jadi, Pak Anam tidak memelihara bibit tersebut sampai menjadi pedaging, katanya, ia terlalu bosan menunggu sampai menjadi pedaging. Bibit-bibit tersebut biasanya dipesan tengkulak, ukuran bibitnya pun sesuai pesanan mereka. Sekitar 2-3 tambak lainnya Pak Anam biarkan menjadi pedaging. Biasanya hasil dari tambak tersebut untuk makan dan menjadi pemancingan kecil-kecilan. Dahulu ia pernah membuat pemancingan lele, tetapi merugi karena memelihara lele membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih besar. Pakannya harus selalu diatur. Selain itu faktor cuaca di Bogor juga berpengaruh. Lele tidak begitu cocok dengan cuaca di Bogor sebagai kota Hujan. Terutama jika sudah diguyur hujan pada malam hari, pada pagi harinnya lele-lele itu sudah tergeletak kaku. Hal itu juga menjadi salah satu alasan Pak Amat memilih Ikan Bawal menjadi fokus usahanya, lebih kuat , lebih tahan, dan lebih gampang makannya, makannya bisa apa saja, daun ubi, daun pisang, bahkan daun talas sekalipun, asal di keringkan terlebih dahulu. Pak Anam memulai usaha ini sejak 2 tahun yang lalu. Sebelumnya ia bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi seorang istri dan kesembilan anaknya. Ketika usia semakin lanjut, Pak Anam memutuskan untuk membuat usaha yang bisa dilakukan dirumah. Anaknya yang paling besar kemudian memberikannya modal, sekitar 5 juta rupiah. Modal itu kemudian ia pakai untuk membeli sebidang tanah berukuran 200m2 untuk dijadikan lahan tambak, membeli bibit ikan, dll. Modal itu terus ia putar supaya ia bisa membeli tanah lagi dan membuat tambak-tambak yang baru. Diakuinya, pada musim panen yakni sekitar setiap 3 bulan, dari 300 ekor bibit yang sudah digemukkan dihargai Rp 3550,00 @ ekor, dari modal awal Rp 1500,00 @ ekor. Tengkulak-tengkulak itu kebanyakan berasal dari daerah Cikampak, Cibatu, dan Cibening. Tak banyak keuntungannya memang, mengingat tenaga, waktu dan modal yang dikeluarkan cukup besar. Apalagi ikan-ikan di dalam tambak ini sering menjadi incaran ‘serok’, hewan sejenis musang yang sering memangsa ikan. Untuk menjaga kolamnya ini supaya tetap aman, baik dari hewan maupun tangan-tangan jahil manusia, Pak Aman sering menggunakan jasa tetangga-tetangganya yang sedang menganggur. Imbalannya tak banyak, hanya beberapa ekor ikan jika sedang panen, walaupun begitu, tangga-tetanganya tetap ikhlas membantunya, mereka tahu bahawa Pak Anam hanyalah pengusaha bermodal kecil yang juga ingin ikut menyejahterakan orang-orang disekitarnya. Setiap kali panen, tetangga-tetangganya yang lain juga diizinkan ‘mencicipi’ beberapa ekor hasil usahanya. Pak Anam tak pernah takut rezekinya habis. “ Kalau mau menanam singkong, jangan pagari dengan pagar bambu, pagarilah dengan singkong itu juga. Kalau mau menambak ikan, jangan pagari kolamnya dengan pagar besi, tapi pagarilah dengan ikan itu juga,” katanya bijak. Maksud dari ungkapan ini ialah, jika kita ingin menanam sesuatu, kita harus berbagi kepada orang-orang disekitar kita dengan sesuatu tersebut. Dengan begitu, orang-orang bisa menikmati hasilnya dan dapat timbul ‘rasa memiliki’, sehingga mereka akan ikau menjaga dan tidak akan berbuat macam-macam terhadap apa yang kita tanam. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia mengandalkan warung kecil-kecilan di rumahnya. Ia terus berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. “ Saya mah nggak sekolah, Neng. Yang penting anak-anak saya yang sekolah dan sekarang udah pada kerja semua,” ujarnya. Jadi, ketika Anda makan ikan Bawal, mungkin saja itu hasil kerjakeras penambak sederhana yang bijaksana. *Penulis Sarah Diana Yulianti Fateta IPB 081389457530]]>