• Phone: 085215646958
  • training@imz.or.id
Stay Connected:

Syariah Poverty Indicator: Meninjau indikator kemiskinan dalam perspektif syariah Selasa 5 Agustus 2009 yang lalu kembali Indonesia Magnificec of Zakat (IMZ) menyelenggarakan diskusi terbatas tentang ”Syariah poverty indicator” mencoba menelisik hal ihwal miskin dan kemiskinan dalam tinjauan Al-Quran dan Hadist. Diskusi terbatas ini menghadirkan narasumber Bapak KH. Prof. Ali Mustopha Ya’qub (Imam Masjid Istiqlal) dengan memberikan pemahaman kemiskinan dalam Islam perspektif hadist-hadist tentang kemiskinan dan di moderatori oleh Muhammad Zen, MA, dalam diskusi terbatas ini terlibat aktif dalam diskusi adalah beberapa anggota dari organisasi pengelola Zakat (OPZ). Diskusi terbatas ini mencoba menggali, kondisi-kondisi kemiskinan yang ada pada masa Rasulullah sehingga menjadi dialektika pemahaman dalam merumuskan indikator maupun pemahaman tentang kemiskinan yang holistik saat ini.Kemiskinan merupakan persolan yang ”menggunung” di negeri ini, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik pada Juli 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan hasil survey BPS maret 2009; jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta Jiwa atau14,15% dari total jumlah penduduk Indonesia. Data ini menunjukan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan hasil survey maret 2008 yang mencapai 34,96juta jiwa atau 15,42% dari total jumlah penduduk Indonesia. Indentifikasi penurunan jumlah angka penduduk miskin olah Badan Pusat Statistik merujuk pada garisk kemiskinan atau jumlah pengeluaran sebesar Rp.200.262 per orang perbulan. Perhitungan tersebut di rinci terdiri dari Rp.147.339 untuk makan perbulan dan Rp.52.923 untuk pengeluran non makanan seperti tempat tinggal dan pakaian perbulan . Berdasarkan data yang dilansir oleh pemerintah tersebut, berbagai kalangan menanggapinya secara beragam, serta ada yang menilai bahwa indikator yang digunakan BPS tidak terlalu menyentuh realitas di lapangan. Berbagai macam silang wacana tentang kemiskinan menjadikan persolan kemiskinan ini menjadi sebuah wacana dan diskursus yang top issue dalam mengkonstruski indikator yang digunakan sehingga menghasilkan rumusan garis kemiskinan yang merespon berbagai macam dimensi yang holistik. Berdasarkan pada kenyataan tentang diskursus kemiskinan, IMZ mencoba memberikan perspektif yang lain dalam mengurai persoalan kemiskinan. Pada Diskusi ini pun narasumber memberikan pemamaran serta tinjauan-tinjauan hadist yang berkaitan dengan persolan kemiskinan. Dalam Pemaparannya, KH Ali Mustopha Ya’qub, meninjau bahwa perbedaan fakir dan miskin di Al-Quran  hanya terdapat dalam ”bab” Zakat, dalam hal yang lain tidak dibedakan bahwa satu kata sudah mencakup semua, dengan kata lain ketika menyebut kata fakir maka sudah tercakup miskin dan begitu pula sebaliknya. Merujuk ada dua kata, fakir dan miskin, dalam “bab” Zakat bahwa fakir dan miskin terdapat ragam pemahaman, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa fakir lebih parah daripada miskin dan kalangan jumhur ulama berpendapat bahwa miskin lebih parah daripada fakir, dalam pendapat Imam Syafi’i bahwa tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin. “Merujuk pada hadist bahwa orang yang disebut miskin adalah orang yang tidak meminta-minta. Lalu sahabat bertanya siapa ya Rasul yang disebut miskin, lalu rasullallah menjawab; orang yang tidak memperoleh kecukupan biaya harian tetapi tidak meminta-minta,” diungkapkan oleh KH Ali Mustopha Ya’qub. Dalam tinjauan-tinjauan hadist tentang kemiskinan menurut Pak Ali Mustopha Ya’qub, dipaparkan bahwa kemiskinan dalam perspektif hadist merupakan persoalan yang kontroversial artinya bahwa terdapat hadist-hadist yang memandang kemiskinan adalah sesuatu yang positif, namun juga Rasulullah sangat anti kemiskinan. Perspektif positif dalam memandang kemiskinan bahwa rasulullah dalam doannya selalu meminta untuk menjadi orang miskin, akan tetapi dalam perspektif anti kemiskinan dalam hadist rasullah ”tidak beriman orang yang perutnya kenyang, tetangganya kelaparan” dan disebutkan hadist yang lain bahwa ”menyantuni orang miskin dan janda miskin pahalanya sama dengan syuhada atau Jihad. Dalam persfektif ilmu Hadist, bahwa persolan kemiskinan yang memiliki dua pandangan atau ”kontroversial” dapat disintesiskan dengan metode-metoda yang ada dalam ilmu hadist seperti, metode Jamak, Nasah, dan tarjih. Metode yang pertama adalah metode Jamak yakni metode mengkompromikan dua hadist yang berlawanan, dan metode ini yang harus diperguankan terlebih dahulu. Dalam persoalan kemiskinan yang memiliki dua pandangan berlawanan, maka motode jamak dilakukan untuk mengkompromikan hal-hal tersebut. Kemiskinan merupakan kondisi yang memang riil nyata, maka komprominya adalah 1) kemiskinan yang tidak dapat dihindari; artinya setelah berusaha dan beriktiar semaksimal mungkin tetapi tetap miskin; 2) kemiskinan tidak baik, orang yang miskin tidak mau berusaha dan beriktiar. Merujuk pada kriteria, memang Islam tidak memberikan kriteria indikator kemiskinan oleh karenanya rumuskan secara menyeluruh, tapi sebagai manusia kebutuhan hidup serta kebutuhan pokok akan sama. Oleh karena itu melihat Standar kebutuhan pokok adalah utama bagaimana memproyeksikan standar kehidupuan manusia, dan Islam memiliki tanggung jawab dalam menyantuni serta memberdayakan kaum miskin.]]>

Kirim Pesan
Join Chat
Assalaamualaikum Wr.Wb

Terima kasih telah mengunjungi IMZ – Your Strategic Partner for Training, Research, & Development.

Ada yang bisa kami bantu ?
Klik tombol kirim pesan dibawah ini.