Di era reformasi dan demokratisasi seperti sekarang ini peran masyarakat sipil (civil society) dalam pembangunan nasional semakin terlihat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya organisasi masyarakat sipil yang tumbuh, besar dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya Lembaga Amil Zakat (LAZ). Semangat mengumpulkan zakat, infak dan sedekah masyarakat Indonesia bukan hanya terlihat setelah terbitnya UU No.38 tahun 1999, namun jauh sebelum UU itu lahir sudah ada beberapa lembaga zakat masyarakat yang bergerak mengumpulkan zakat, seperti Baitul Maal Ummat Islam (Bamuis) BNI (berdiri tahun 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) berdiri tahun 1987, Dompet Dhuafa berdiri tahun 1993. Menurut Ketua Umum Forum Zakat (FOZ – periode 2006 s/d 2009) Hamy Wahjunianto, sebagai organisasi yang berbasis masyarakat, lembaga zakat dengan kesadarannya sendiri telah mengumpulkan zakat, infak dan sedekah dari warga kemudian mengelolanya sesuai program-program yang dirancang. “Bukankah upaya yang dilakukan lembaga zakat ini merupakan partisipasi positif yang perlu didukung?,” tandas Hamy menanggapi rencana pemerintah yang ingin menggabungkan keberadaan lembaga zakat swasta ke dalam lembaga zakat pemerintah. “Mereka (Bamuis BNI, YDSF, DD red) sudah lahir jauh sebelum UU PZ ini ada,” imbuh mantan Direktur Utama YDSF itu. Ia menambahkan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat yang dibentuk masyarakat atau sering disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ) jauh lebih kuat dibandingkan lembaga zakat yang dibentuk pemerintah atau yang sering disebut Badan Amil Zakat (BAZ). Hal tersebut dibuktikan dengan penghimpunan zakat, infak dan sedekah oleh LAZ jauh lebih besar dibanding penghimpunan oleh BAZ. Jumlah donatur dan muzakki di LAZ juga semakin juga semakin banyak. “Nah, jika kemudian LAZ digabung dengan BAZ, apakah bisa menjamin para donatur dan muzakki yang selama ini menyalurkan zakatnya ke LAZ tetap mau menyalurkan zakatnya,” tandas Hamy. Dalam sistem ekonomi Islam, Hamy mengakui zakat dapat berperan sebagai distribusi kapital bagi masyarakat. Dengan pendistribusian zakat dari muzakki ke mustahik, berarti terjadi proses distribusi untuk pemerataan sumber daya ekonomi. “Sumber daya dari muzaki kepada mustahik akan membantu kehidupan si miskin sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi,” tambahnya. Dengan demikian, zakat memerlukan sistem dan instrumen yang dapat mengatur pengelolaanya. Karena itu, Hamy tidak menafikan peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah, dimana keduanya menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. “Agar fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, caranya bukan lalu menggabungkan LAZ kepada BAZ pada waktu sekarang ini. Tapi memberi ruang gerak yang leluasa kepada LAZ dulu. Sementara itu perlu dibentuk satu badan lagi yang berfungsi sebagai lembaga regulator zakat, sama seperti fungsi BI (Bank Indonesia) dalam perbankan nasional,” katanya sembari menambahkan untuk penyatuan lembaga zakat memang penting dilakukan, namun hal itu harus melalui tahapan-tahapan terlebih dahulu dan perlu menyiapkan infrastrukturnya. Setelah tahapan dilalui, baru penyatuan lembaga zakat itu dilakukan. “Dalam arsitektur zakat Indonesia yang disusun FOZ, kira-kira tahun 2018 hal itu baru bisa diwujudkan,” tambahnya. Oleh karenanya, lanjut Hamy, ada hal yang lebih mendasar bagi pengelolaan zakat ke depan yang perlu disiapkan dibandingkan terburu-buru menggabungkan LAZ kepada BAZ. Pertama, mendorong terbentuknya lembaga regulator dan pengawas, kedua, pentingnya membuat standarisasi mutu lembaga zakat. Ketiga, membuat standarisasi keuangan zakat. Senada dengan pendapat Hamy disampaikan oleh tim penyusun RUU Zakat Komisi VIII DPR RI, Rohani Budi Prihatin. Budi menegaskan kondisi yang paling ideal bagi pengelolaan zakat di masa yang akan datang adalah mendorong pemerintah atau negara menjadi regulator. “Peran regulator dan pengawas tidak dimainkan oleh Depag, tapi oleh Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Dan pemerintah sendiri jangan sampai menjadi operator,” tandasnya. Sementara operator (penghimpun dan pengelola zakat) dipegang oleh masyarakat atau civil society. Dengan pengaturan seperti ini berarti ada keleluasaan bagi lembaga zakat yang dibentuk masyarakat sipil, tapi harus diingat bahwa dia harus bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan. “Lembaga zakat diatur sedemikian rupa, diawasi seketat mungkin, dihukum seberat mungkin jika salah atau melanggar, bahkan harus dibubarkan jika menyeleweng,” tegas Budi sembari menyampaikan bahwa tim penyusun RUU Zakat di Komisi VIII telah membuat beberapa model simulasi. Tim menilai contoh simulai yang paling ideal adalah seperti yang disampaikan tadi. Keberadaan lembaga zakat yang dibentuk masyarakat sipil diakui Budi sudah ada sebelum UU No.38/99 lahir. Oleh karenanya tim menganggap tidak boleh meninggalkan sejarah. “Kita tidak mungkin a historis,” ujarnya. Tapi nyatanya keberadaan BAZ (pemerintah) masih belum maksimal. Oleh karenanya Budi menegaskan kebangkitan civil society dalam pengelolaan zakat harus dihargai setinggi-tingginya. “LAZ harus kita pertimbangkan betul keberadaannya, karena keberadaan LAZ merupakan kebangkitan civil society di masyarakat kita,” imbuh Budi mengingatkan bahwa sejak tahun 1980 mulai muncul tren yang berkembang di masyarakat kita bahwa peran negara harus dikurangi seminimal mungkin bagi kehidupan bermasyarakat, ketika masyarakat sudah bisa mengatur dirinya sendiri. “Kalau masyarakat sudah bisa mengatur dirinya sendiri kenapa negara masih ikut campur tangan mengaturnya,” tegas Budi
Hanya Menguatkan Keuangan Negara
Ada kelemahan yang ditemukan tim penyusun RUU Zakat Komisi VIII DPR RI ketika LAZ dimerger ke BAZ. Salah satu kelemahan yang paling mendasar adalah masalah dana zakat, infak dan sedekah yang dihimpun BAZ. “Jika zakat, infak dan sedekah (ZIS) dikumpulkan di BAZ, maka dana tersebut akan menjadi bagian daripada APBN, berarti kita akan menguatkan keuangan negara,” urainya. Sementara kita tidak dapat menyalurkan dana zakat yang terkumpul itu secara leluasa apabila BAZ itu menjadi bagian dari pemerintah. Hal ini sesuai isi UU No.17 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa seluruh dana yang terkait dengan penerimaan uang maka harus masuk ke dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dengan demikian apabila mengikuti pendapat ini maka tidak bisa leluasa memanfaatkan dana zakat untuk program-program yang dirancang lembaga zakat. Karena tergantung pembagian dari pusat. Di samping itu, kata Budi, jika LAZ dimerger ke BAZ (artinya BAZ adalah bagian dari pemerintah) maka muncul kekhawatiran di lingkungan komisi VIII sendiri. Pertama, adanya kekhawatiran dari golongan nasionalis. Masih ada beberapa fraksi yang khawatir sekaligus menolak jika UU ini hanya dikhususkan bagi umat Islam saja. Kedua, adanya penolakan dari golongan yang phobia terhadap masuknya institusi keagamaan ke dalam sistem kenegaraan. Ketiga, penolakan dari golongan yang mengatakan bahwa institusi Islam tidak boleh masuk ke dalam sistem kenegaraan. Memperhatikan kekhawatiran itu, tim mengambil jalan tengah yakni mendorong optimalisasi fungsi Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) dan Bazda (Badan Amil Zakat Daerah) menjadi pengawas dan regulator, atau semacam BI (Bank Indonesia)-nya. “Tim mengusulkan ada lembaga pemerintah non departemen, namanya Badan Koordinasi Pengelolaan Zakat (BKPZ),” kata Budi. Sementara Depag adalah bagian dari BKPZ itu. Ke depan, ketika kelembagaan zakat sudah mapan dan tertata dengan baik, Budi mengakui penyatuan lembaga zakat adalah yang paling ideal. “Karena seperti itulah tujuan akhir kita bersama.” Namun ia mengingatkan bahwa jika tujuan akhir itu mau dicapai sekarang ini, maka keinginan itu terlalu dini. “Sama seperti usia kehamilan yang belum sampai sembilan bulan sudah disuruh melahirkan. Jadi sebaiknya nanti sajalah kalau sudah usianya mencapai sembilan bulan,” ujar Budi. Pendapat berbeda disampaikan oleh Mukhtar Zarkasyi. Ketua tim amandemen UUPZ yang dibentuk Departemen Agama ini mengatakan sejak awal pengelolaan zakat di Indonesia diarahkan hanya dikelola oleh Badan Amil Zakat (BAZ / lembaga yang dibentuk pemerintah). Karena hal itu sejalan dengan perintah Allah di dalam Surat At Taubah ayat 103. “Tujuan agar zakat dikelola oleh negara adalah agar pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaannya dapat berjalan dengan efektif, efisien dan dapat mewujudkan kesejahteraan sosail sebagaimana amanat UUD 1945,” kata Mukhtar. Jadi sebenarnya LAZ yang dikehendaki oleh UU No.38 Tahun 1999 hanyalah LAZ yang berasal dari ormas-ormasi Islam. “Sebenarnya lahirnya LAZ yang begitu banyak seperti sekarang ini tidak dikehendaki oleh undang-undang. Kesalahan Menteri Agama juga (waktu itu Said Agil Munawar, red) yang malah mengukuhkan Laznas-Laznas,” imbuh Mukhtar yang juga ketua tim penyusunan UU No.38 tahun 1999. Oleh karenanya sampai sekarang Mukhtar tetap konsisten mempertahankan pendapatnya bahwa lahirnya puluhan lembaga amil zakat sebenarnya tidak sesuai semangat awal disusunnya UU No.38 tahun 1999.Akomodir Unsur Masyarakat
Mukhtar juga membantah jika rencana penyatuan LAZ ke dalam BAZ, sebagaimana yang disebutkan di dalam rancangan amandemen, berarti tidak mengakomodir keterlibatan masyarakat. “Tidak benar itu (tidak melibatkan unsur masyarakat, red). Justru kita akan mengajak komponen masyarakat masuk ke dalam struktur BAZ,” bantah Mukhtar. Apa yang diusulkan tim amandemen menurut Mukhtar adalah sesuai dengan perintah Allah agar mengangkat petugas zakat di daerah-daerah yang dikuasainya. Sebagaimana perintah yang diberikan kepada Nabi. “Perintah Allah kepada Nabi bunyinya seperti itu,” tandasnya. Kalau tidak ada penguasa atau pemerintah yang mengurusi kepentingan umat, lanjut Mukhtar, barulah masyarakat Islam setempat yang mengurusi kepentingan mereka sendiri dengan mengangkat petugas zakat di antara mereka sendiri. Rancangan amandemen UUPZ yang disusun Depag bertujuan untuk menata pengelolaan zakat ke depan agar lebih baik dibandingkan sekarang. Masih lemahnya struktur keorganisasian akan dapat diatasi dengan penyatuan LAZ ke dalam BAZ. “Walaupun nantinya badan amil zakat diangkat oleh pemerintah sesuai tingkatannya akan tetapi dalam operasionalnya, semua Badan Amil Zakat mempunyai hubungan hirarki,” terang Mukhtar. Begitu juga dalam hal menentukan komposisi pengurus BAZ. Bahwa Badan Amil Zakat terdiri unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu. Mukhtar mengajak umat Islam agar pasca penolakan pembentukan Bazis Nasional oleh Presiden Soeharto pada tahun 1992 dan kuatnya paham sekuler pada saat itu menjadi pelajaran penting bagi umat Islam Indonesia saat ini. Oleh karenanya ia mohon keikhlasan hati supaya bergabung bersama dalam wadah tunggal pengelolaan zakat. “Saya mohon keikhlasan umat Islam, mari bergabung dalam wadah tunggal Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah, karena hal itulah yang sesuai perintah Allah,” pinta Mukhtar.Dilandasi Niat Baik
Apa yang dikatakan Mukhtar didukung oleh Direktur Pengembangan Zakat Depag, Nasrun Haroen. Ia berpendapat bahwa pengelolaan zakat ke depan harus ditangani oleh pemerintah. Banyaknya lembaga zakat saat ini membuat pemerintah sulit untuk melakukan pengawasan. Oleh karena itu harus disatukan. Sebenarnya di dalam penyatuan lembaga zakat itu tidak ada niat lain kecuali niat baik melakukan penataan zakat secara baik dan benar. “Ide ini (penyatuan, red) bertujuan agar penghimpunan dan pengelolaan zakat di Indonesia bisa berjalan terpadu,” ujarnya sambil menyebutkan pengelolaan zakat saat ini terpencar-pencar akibatnya potensi zakat tidak kelihatan. Lebih lanjut Nasrun menambahkan praktek pengelolan zakat di negara yang penduduknya mayoritas muslim zakatnya dikelola negara. “Di negara-negara Islam dan mayoritas muslim seperti negara di Timur Tengah, semua dikelola oleh negara,” kata dia. Sebab penanganan zakat oleh negara akan dapat membantu masyarakat kurang mampu secara lebih baik. Apabila zakat dikelola secara baik dan terpadu, maka pemerintah juga mudah membuat kebijakan dan peraturan terkait zakat yang bertujuan untuk pengembangan zakat ke depan. Misalnya zakat pengurang pajak.Punya Kelemahan dan Kelebihan
Sementara Ketua Umum Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) Didin Hafidhuddin mendukung penataan zakat ke depan seperti yang disampaikan Nasrun. Bahwa apa yang dilakukan pemerintah bertujuan baik. “Saya yakin penyatuan itu tujuannya baik,” ujar Didin. Namun idealnya ke depan pengelolaan zakat di Indonesia tetap harus mengakomodir keberadaan BAZ dan LAZ. Sebab keduanya sama-sama mempunyai kelemahan dan kelebihan. “Dua-duanya mempunyai kelemahan dan kelebihan. Keberadaan LAZ memunculkan kesadaran masyarakat membayar zakat semakin kuat. Sedangkan BAZ (pemerintah, red) juga mempunyai kekuatan yang mengikat,” terang Didin. Kalau seandainya zakat hanya dikelola oleh negara maka juga tidak baik karena masyarakat cenderung masa bodoh. Oleh karenanya Didin mengusulkan baik LAZ maupun BAZ keduanya bisa dipadukan. “Unsur negara penting, unsur masyarakat juga penting,” tandasnya. Artinya di sini harus ada pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai pengatur dan pengawas sekaligus juga memberi izin atas terbentuknya LAZ. Unsur pemerintah direpresentasikan oleh Baznas. “Baznas bisa didorong memerankan peran seperti itu. Sekaligus dibiayai oleh negara,” imbuh Didin. Didin menyampaikan bahwa niat untuk menyatukan lembaga zakat di Indonesia yang digagas oleh tim amandemen tidak lain kecuali agar pengelolaan zakat bisa berhasil lebih transparan dan lebih memudahkan. Begitu juga konsep yang diusulkan oleh masyarakat atau oleh DPR juga sama-sama baik. “Keduanya saya kira sama baiknya,”. Sebab konsep seperti itu sama-sama ingin supaya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat agar semakin kuat. Oleh karena itu menurut Didin perlu ditarik benang hijau. “Bukan benang merah. Artinya harus dua-duanya dapat berperan. Keduanya harus saling memahami. Kalau masing-masing berjalan sendiri-sendiri maka tidak akan pernah ketemu,”. Dengan cara seperti itu Didin yakin tidak ada masalah yang mendasar lagi di kemudian hari. Didin juga sepakat bahwa keberadaan LAZ harus dibatasi. Jangan seperti sekarang ini. LAZ banyak dan berjalan sendiri-sendiri. “Semuanya berjalan sendiri-sendiri, makanya harus disinergikan,” tegasnya. Wilayah garapan LAZ juga harus ditentukan jangan sampai rebutan. Keberadaan Bazda juga harus disatukan ke dalam satu komando dan satu hirarki. Bahkan akan lebih baik jika unsur masyarakat juga dilibatkan di dalam kepengurusan Bazda. Dengan cara demikian maka pengelolaan zakat ke depan akan lebih baik. Sehingga potensi zakat yang besar akan tergali secara optimal. Sementara akan semakin banyak masyarakat miskin yang kesejahteraannya semakin meningkat. (Sumber: Jurnal Zakat & Empowering – IMZ, Vol. 1)]]>