Benarkah impian yang kita tulis benar-benar impian terbaik kita? Impian terbaik adalah impian yang berasal dari hati nurani. Itu impian terdalam kita. Tapi impian itu terkubur oleh impian-impian jangka pendek dan terlihat lebih menarik. Kita harus mengajak bicara hati nurani untuk menemukan impian itu kembali.
Bagaimana caranya? Di kelas pelatihan Move On: Seni Meraih Sukses dan Hidup Bahagia, saya mengajarkan teknik yang saya sebut *Imajinasi Kematian*. Duduklah di tempat yang tenang dan ikutilah imajinasi yang saya tulis ini.
Bayangkan Anda sedang berada di tempat kerja dan sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk sejak pagi. Di tengah kesibukan, tiba-tiba telepon genggam Anda berdering. Anda diminta segera pulang ke rumah karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Saat Anda menanyakan siapa yang meninggal, telepon terputus dan Anda tidak bisa menghubunginya lagi.
Anda panik dan segera meluncur pulang dengan terburu-buru sambil di jalan berfikir siapa yang meninggal. Semua nomor telepon keluarga yang Anda hubungi selama perjalanan tak ada yang diangkat. Anda mempercepat laju kendaraan agar bisa segera sampai di rumah.
Rumah Anda telah ramai oleh kerabat dan tetangga saat Anda datang. Anda pun bergegas masuk dan langsung menuju jenazah yang sudah terbujur kaku. Seluruh tubuhnya ditutup kain. Anda pun mendekat untuk menyingkap kain yang menutupi wajahnya karena ingin segera mengetahui siapa yang meninggal.
Saat kain tersingkap, Anda seperti disambar petir. Jantung berdegup kencang, nafas tiba-tiba terasa sesak. Anda masih terpaku tanpa bisa berkata-kata melihat wajah yang Anda lihat. Karena wajah yang Anda lihat adalah wajah Anda sendiri!
Apakah ini mimpi? Bukankah Anda masih hidup? Bagaimana mungkin jenazah yang terbujur kaku di depan Anda adalah Anda sendiri? Anda berfikir keras tapi tak juga mampu memahaminya. Dalam kebingungan, Anda menepuk bahu orang di samping Anda untuk bertanya. Tapi Anda tak berhasil menyentuhnya. Anda seperti menyentuh bayangan. Anda panggil namanya, ia tak mendengar. Anda colek bahu orang lain, tak juga berespon. Anda bertanya, setengah teriak, tak ada yang mendengar. Anda berteriak sekeras-kerasnya, tak ada yang mendengar.
Tiba-tiba keringat dingin menetes dari dahi. Bulu kuduk Anda merinding membayangkan kemungkinan yang terjadi. Anda pun melihat sekeliling berusaha memahami situasi yang sangat membingungkan. Di seberang Anda duduk; anak-anak Anda terlihat berdoa sambil menangis di samping jenazah. Di belakangnya duduk suami/istri Anda yang mengusap kepala anak bungsu Anda berusaha untuk menenangkannya. Mereka seperti tak melihat Anda.
Akhirnya Anda sadar. Anda memang sudah meninggal. Jenazah yang terbujur di depan Anda memang benar-benar jasad Anda. Dan Anda sendiri adalah ruh yang telah keluar dari jasad*. Ingatan Anda perlahan mulai pulih. Peristiwa yang berujung kematian itu mulai Anda ingat. Saat Anda sedang bekerja, duduk di depan komputer menyelesaikan laporan yang harus Anda serahkan sore hari. Lalu tiba-tiba Anda merasakan tubuh Anda sangat lemah. Tengkuk terasa dingin. Bahu dan leher terasa berat. Pandangan mata tiba-tiba memudar. Dan nafas Anda begitu berat. Dada terasa seperti dihimpit batu besar hingga sulit bernafas. Anda berusaha menghirup oksigen sangat banyak, tapi tak ada oksigen yang masuk ke paru-paru. Anda seperti bernafas di ruang hampa udara.
Ruangan kantor yang ramai itu tiba-tiba Anda rasakan begitu sepi. Tak ada orang lain. Hanya Anda. Tak ada suara apapun yang terdengar selain nafas Anda yang terdengar berat. Anda tiba-tiba merasa hidup sendiri di dunia dan sekarang berjuang menghadapi kematian.
Tiba-tiba, Anda melihat sesosok bayangan muncul. Sosok yang tinggi besar berdiri tepat di depan Anda. Dia menatap tajam. Bola matanya seperti menguliti Anda. Dia menatap Anda tanpa bergerak; menyaksikan Anda tergeletak dan berjuang mengambil nafas yang semakin berat.
“Waktumu sudah habis di dunia. Buku catatan amalmu segera ditutup. Bersiaplah menghadap Tuhanmu!” suara itu terdengar seperti petir menggelegar di telinga Anda.
Inikah malaikat pencabut nyawa? Mengapa ia tak merasakan firasat apapun kalau hari ini adalah hari terakhir hidupnya? Kenapa tak ada tanda-tanda hingga Anda bisa bersiap-siap dan beramal sebanyak mungkin?
Tiba-tiba Anda merasakan sakit yang amat sangat saat sosok tinggi besar itu mencengkeram ubun-ubun Anda dan menariknya dengan kasar. Sakitnya membuat Anda tak sanggup berteriak. Anda merasakah ruh Anda ditarik kasar keluar dari tubuh melalui ubun-ubun. Dan setiap sentimeter daging yang lepas dari ruh itu seperti disayat seribu pisau. Anda seperti seekor kambing kurban yang disayat kulit dan dagingnya helai demi helai.
Tidak. Ini jauh lebih sakit daripada sayatan pisau. Tubuh Anda seperti memasuki mesin penghancur kertas yang ada di kantor. Tubuh Anda seperti kertas utuh yang dimasukkan ke dalam mesin penghancur yang setiap sentimeternya terpasang pisau tajam. Dan Anda seperti kertas itu; berakhir menjadi potongan-potongan panjang selebar satu sentimeter.
Tapi ini bukan pisau. Ini seperti jarum yang sangat tajam yang menghadang Anda memasuki mesin penghancur daging. Ada satu juta jarum yang memenuhi penampang selebar satu kali satu meter persegi. Ada seribu jarum berderet ke samping; satu jarum setiap milimeternya. Dan ada seribu baris ke atas dengan jarak yang sama. Dan perlahan tubuh Anda ditarik malaikat maut melewati satu juta jarum itu. Setiap millimeter daging dalam tubuh Anda tertusuk jarum*. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan sakitnya masih Anda rasakan hingga sekarang.
Ïngatan Anda buyar saat melihat orang-orang berdiri di depan jenazah Anda dan bersiap untuk shalat jenazah. Dan sebelum shalat dimulai, anak sulung Anda maju ke depan dan menceritakan kesannya tentang Anda. Apa yang akan dia katakan?
“Ayah saya adalah ayah yang……,” tiba-tiba suaranya berhenti.
Anda menunggu dengan cemas kalimat apa yang akan dia katakan. Apakah kesan baik yang ia ingat tentang ayahnya? Atau pertengkaran terakhirnya yang cukup keras dengan Anda? Apakah kenangan indah saat kecil yang akan ia ceritakan? Atau keluhannya saat Anda mulai tak sabar dan membentaknya? Keceriaannya saat menyambut Anda pulang kerja atau kekecewaannya setiap kali menunggu Anda pulang hingga tertidur di sofa ruang tamu?
Saya selalu mengajak peserta pelatihan Move On: Seni Meraih Sukses dan Hidup Bahagia untuk melakukan imajinasi seperti di atas dan menuliskan sambutan pemakaman yang ingin mereka dengar dari orang-orang terdekat dalam hidup mereka: pasangan, anak, orang tua, sahabat, atasan dan bawahan di kantor.
Saat membayangkan kematian, suara hati nurani kita sangat kuat terdengar. Sebaliknya, suara hawa nafsu nyaris tak terdengar. Itulah _moment_ di mana kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh hati nurani. Itulah saat di mana kita bisa mengetahui tujuan hidup kita sebenarnya. Itulah waktu di mana kita tersadar apa yang sebenarnya kita cari.
Sekarang, saatnya Anda untuk membuat sambutan pemakaman Anda sendiri. Jika nanti Anda meninggal, kalimat apa yang ingin Anda dengar dari orang-orang terdekat tentang Anda? Kesan apa yang ingin Anda dengar tentang Anda dari mereka? Tulislah kesan yang ingin Anda dengar dari suami/istri, anak, orang tua, tetangga, sahabat, juga atasan/bawahan di kantor.
Setelah selesai membuat sambutan pemakaman, garis bawahilah kata-kata kunci yang menggambarkan diri Anda. Itulah diri ideal Anda. Itulah suara hati nurani Anda. Itulah impian terdalam Anda yang selama ini tak muncul ke pikiran sadar Anda karena kesibukan pekerjaan. Untuk impian itulah seharusnya kita berjuang keras mencapainya. END
Tulisan ini merupakan versi tertulis dari materi pelatihan saya yang berjudul Move On: Seni Meraih Sukses dan Hidup Bahagia*, dibuat menjadi tulisan berseri agar bisa dinikmati lebih banyak orang. Tulisan lainnya bisa Anda baca di www.fatchuri.com
Inspirasi Melintas Zaman (IMZ Consulting)* merupakan lembaga _social enterprise_ yang membantu organisasi profit dan nirlaba di bidang pengembangan SDM dan pemberdayaan masyarakat berbasis nilai-nilai spiritual.