• Phone: 085215646958
  • training@imz.or.id
Stay Connected:

Perjuangan meraih sukses dan mengejar kebahagiaan memang luar biasa. Seperti kisah ini; kisah nyata tentang perjuangan mencari kebahagiaan. Namanya, sebut saja Dewi, direktur di sebuah perusahaan pembiayaan di Jakarta. Ibu dari anak perempuan semata wayang yang kini duduk di kelas XI di sebuah SMU swasta favorit di Jakarta. Suaminya pengusaha properti. Rumahnya mewah di BSD. Di garasi rumahnya berjejer 3 mobil. Lengkap dengan supirnya. Satu untuk dirinya, suami, dan satu lagi untuk anaknya. Di rumahnya masih ada 2 asisten rumah tangga.

Suatu hari, Dewi jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Kelelahan menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk menjelang akhir tahun membuatnya terkena sakit tifus. Ini sudah hari ketiga ia dirawat. Tapi anaknya, Anggi, tak kunjung menengoknya di rumah sakit. Ada saja alasannya. Sibuk mengerjakan tugas sekolah, les piano, berenang, dan persiapan pentas theater di Taman Ismail Marzuki minggu depan. Anggi baru menjenguknya di rumah sakit di hari kepulangan Dewi. Itupun setelah sang Ibu mengancamnya akan menarik fasilitas mobil yang ia berikan untuk Anggi.

 Dua bulan setelah itu, gantian mbok Yem, asisten rumah tangganya yang jatuh sakit. Dirawat juga di rumah sakit. Anehnya, justru Anggi malah menungguinya di rumah sakit. Bukan hanya menjenguk, tapi menungguinya. Berjam-jam sepulang sekolah sampai larut malam. Kalau tak dipaksa ibunya pulang, Anggi enggan keluar dari rumah sakit itu.

Dewi merenung. Ia lima hari dirawat di rumah sakit, Anggi tak mau menjenguknya. Kenapa malah giliran mbok Yem sakit, Anggi malah menungguinya?  Memang sih Mbok Yem yang mengasuh Anggi saat kecil, tapi kan Dewi ibu kandungnya. Ia akui terlalu sibuk bekerja. Tapi bukankah ia bekerja untuk kebahagiaan keluarganya?

Hari itu Dewi merasa semua yang ia raih berpuluh tahun sia-sia. Harta yang melimpah, karir yang cemerlang, mobil mewah, rumah yang besar, sia-sia. Karena anak semata wayangnya justru tak merasa dekat dengannya. Anggi justru lebih dekat dengan mbok Yem, yang hanya seorang pengasuh di rumah ini.

 Siapa yang tak ingin punya uang banyak? Dengan uang kita bisa membeli rumah yang bagus, mobil mewah, tempat tidur yang nyaman, jalan-jalan rekreasi ke luar negeri, dan mengkoleksi barang-barang kesukaan kita. Tapi Allah itu punya rumus yang unik tentang kebahagiaan. Uang bisa membeli kenyamanan hidup, tapi tak otomatis membuat pemiliknya bahagia.

 Dengan uang kita bisa membeli makanan enak. Tapi nikmatnya makan dibagikan oleh Allah tak berbanding lurus dengan harga makanan yang kita beli. Seperti pengalaman sahabat saya. Hari itu ia naik pesawat dari Jakarta ke Hongkong. Ia duduk di samping seorang laki-laki berusia 60-an tahun.

Sahabat saya ini heran. Saat ia menikmati makanan yang disuguhkan pramugari, laki-laki di sampingnya sama sekali tak menyentuh makanan. Dia hanya memegang gelas berisi air putih. sesekali meminumnya sedikit sambil memperhatikan saya makan.

 Bapak tidak makan?” sahabat saya menyapanya merasa tak enak makan sendirian.

 Tidak. Saya harus jaga makanan, dik. Dokter melarang saya makan macam-macam.” Jawabnya.

 Oh…bapak sakit apa?”

 Jantung, dik. Sudah pasang 2 ring. Saya hindari yang mengandung kolesterol. Belakangan gula saya juga naik. Kalau asam urat sudah sepuluh tahun lebih. Dulu pengin makan macam-macam tidak punya uang. Sekarang saya punya banyak uang, tapi tetap tak bisa makan macam-macam karena dilarang dokter.”

 Tiba-tiba sahabat saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Hidup ternyata bukan berapa banyak yang ia punya, tapi berapa banyak yang ia syukuri. END

Fatchuri Rosidin (Direktur Inspirasi Melintas Zaman)

Tulisan ini diambil dari materi pelatihan saya yang berjudul Move On: Seni Meraih Sukses dan Hidup Bahagia.

Inspirasi Melintas Zaman (IMZ Consulting) merupakan lembaga social enterprise yang membantu organisasi profit dan nirlaba di bidang leadership, pengembangan SDM dan pemberdayaan masyarakat berbasis nilai-nilai spiritual.

 

The struggle for success and the pursuit of happiness is indeed extraordinary. Like this story; true story of the struggle for happiness. Her name, let’s say Dewi, director at a finance company in Jakarta. The mother of a mere puppet girl who is now sitting in class XI at a favorite private high school in Jakarta. Her husband is a property entrepreneur. His house is luxurious in BSD. In his garage lined 3 cars. Complete with driver. One for her husband and one for her child. At his house there are still 2 household assistants.
One day, Dewi fell ill and was hospitalized. Fatigue completing work that accumulates towards the end of the year makes it hit by typhus. It was already the third day he was treated. But his son, Anggi, never visited him at the hospital. There are reasons. Busy doing school work, piano lessons, swimming and theater preparation at Taman Ismail Marzuki next week. Anggi just visited him at the hospital on the day of Dewi’s return. Even then, after the mother threatened to withdraw the car facilities that he gave to Anggi.
Two months after that, mbok Yem, his household assistant, became ill. Also treated at the hospital. Strangely, Anggi instead waited for him in the hospital. Not just visiting, but waiting for him. Hours after school until late at night. If his mother is not forced to go home, Anggi is reluctant to leave the hospital.
Goddess pondered. He was hospitalized five days, Anggi did not want to visit him. Why does it turn out that Mbok Yem is sick, Anggi is waiting for him? Indeed Mbok Yem, who raised Anggi as a child, was the birth mother of Dewi. He admitted that he was too busy working. But doesn’t he work for the happiness of his family?
That day Dewi felt everything she had achieved for decades was useless. Abundant wealth, brilliant career, luxury car, big house, useless. Because the only child actually does not feel close to him. Anggi is even closer to Mbok Yem, who is only a caregiver in this house.
Who doesn’t want to have a lot of money? With money we can buy a nice house, a luxury car, a comfortable bed, a recreational trip abroad, and collect our favorite items. But God has a unique formula about happiness. Money can buy the comforts of life, but it doesn’t automatically make the owner happy.
With money we can buy delicious food. But the pleasure of eating distributed by God is not directly proportional to the price of the food we buy. Like my best friend’s experience. That day he boarded a plane from Jakarta to Hong Kong. He sat next to a man in his 60s.
My best friend is surprised. When he enjoyed the food served by the flight attendants, the man beside him did not touch the food. He just held a glass of water. occasionally drink it a little while watching me eat.
Didn’t you eat? ” my best friend greeted him feeling uncomfortable eating alone.
Not. I have to watch the food, sis. The doctor told me not to eat anything. ” The answer.
Oh … what sick father? ”
Heart, sis. Already put 2 rings. I avoid those that contain cholesterol. Later my sugar also rose. If uric acid has been more than ten years. I used to want to eat things without money. Now I have a lot of money, but I still can’t eat things because doctors are forbidden. ”
Suddenly my best friend felt to be a very lucky person. Life was not how much he had, but how much he was grateful for. END
By : Fatchuri Rosidin (Director of Inspirasi Melintas Zaman)
This article is taken from my training material entitled Move On: The Art of Achieving Success and Happy Life.
Cross Age Inspiration (IMZ Consulting) is a social enterprise institution that helps profit and non-profit organizations in the fields of leadership, human resource development and community empowerment based on spiritual values.

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

First Name*
Subject*
Email*
Your Comments
Kirim Pesan
Join Chat
Assalaamualaikum Wr.Wb

Terima kasih telah mengunjungi IMZ – Your Strategic Partner for Training, Research, & Development.

Ada yang bisa kami bantu ?
Klik tombol kirim pesan dibawah ini.